Jakarta masa kini seperti tengah kecanduan ”ular besi”. Pembenahan akbar terhadap layanan kereta rel listrik membuat operasionalnya makin canggih dan kenyamanan penumpang berlipat ganda. Beragam transportasi berbasis rel yang juga mengandalkan energi listrik turut dikembangkan, termasuk moda raya terpadu alias MRT yang menembus tanah.
Peradaban perkeretaapian Ibu Kota ini berakar dari masa pemerintahan Hindia Belanda, sekitar 150 tahun lalu. Beberapa potongan jejak sejarahnya masih terlihat meskipun kita harus berupaya ekstra menemukannya karena tidak ada penanda apa pun di lokasi.
Azan zuhur berkumandang dari masjid di tepi barat anak Kali Ciliwung, Kelurahan Pinangsia, Kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, Selasa (17/9/2019). Sebagian umat datang dari sisi timur kali, yang masuk wilayah Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Mereka melintasi jembatan beton selebar hampir 1,5 meter, yang di tengahnya terpasang palang agar tidak ada sepeda motor memanfaatkan jembatan.
Meski terkesan kokoh, jembatan itu sedikit bergoyang saat dilewati. Pantas motor dilarang lewat. Di bawah lapisan beton, terlihat batang-batang kayu yang disusun membujur, serupa bantalan rel masa lampau. Pada ujung jembatan di sebelah timur, dua batang besi melintang sejajar mengarah ke jalan inspeksi anak Kali Ciliwung. Itu menegaskan dugaan bahwa terdapat bekas rel kereta yang kini tak difungsikan lagi.
Mengikuti arah rel itu ke timur, kaki melangkah ke Jalan Kencur, di RT 002 RW 004 Kelurahan Ancol. Di kanan dan kiri jalan, tembok rumah seakan saling tersambung saking padatnya.
Salah satu warga Jalan Kencur, Asih, menuturkan, jembatan penyeberangan tadi memang eks jalur kereta. Rel sebenarnya juga melewati depan rumahnya dan diduga tersambung ke jalur arah Pelabuhan Tanjung Priok. Kini, rel sudah ditimpa berlapis-lapis beton jalan.
Komoditas yang diangkut dengan kereta ditransitkan di sejumlah gudang di sana. Asih mengenang, dulu pernah ada gajah kecil yang kabur, tetapi berhasil ditangkap. Kemungkinan, beberapa dekade lalu, berbagai jenis satwa diangkut dengan kereta ke Jakarta. Hewan-hewan ini menjadi penghuni Kebun Binatang Ragunan.
Kakak Asih, Emes (69), menambahkan, dahulu kereta yang menyeberangi kali lewat jembatan membawa muatan kayu-kayu besar. Saat ini, potongan-potongan batang kayu berdiameter lebih dari 1 meter masih teronggok di RT 005 RW 006 Kelurahan Pinangsia, Jakarta Barat. Potongan kayu ini menandakan di sana pernah jadi gudang kayu. Operasional pengangkutan kayu dengan kereta ini berhenti di ujung masa jabatan Presiden pertama RI Soekarno.
Batavia-Buitenzorg
Aktivitas yang diceritakan oleh Asih dan Emes sudah tidak lagi terlihat sekarang. Namun, kisah dari keduanya bukanlah cerita sejarah tertua terkait sisa jalan rel yang masih ”nangkring” di atas anak Kali Ciliwung hingga kini. Bahkan, sisa rel tersebut sebenarnya bagian dari kisah asal-usul perkeretaapian di Ibu Kota, sejak hampir seabad sebelum Asih lahir.
Di masa penjajahan oleh Belanda, rel itu merupakan bagian jalur penghubung Batavia dengan Buitenzorg atau Bogor. Itu jalur kereta pertama yang melewati Batavia. Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) adalah sang perusahaan pelopor di balik terbangunnya rel jalur Batavia-Buitenzorg.
Baca juga: Bogor, Kota Pusaka Sains Indonesia
Suasana di Stasiun Bogor seusai hujan, Selasa (24/11). Penjualan tiket sempat ditutup hampir dua jam akibat gangguan perjalanan KRL oleh longsor dan pohon tumbang di antara Stasiun Citayam dan Stasiun Bojonggede.
Kompas/Ambrosius Harto (BRO)
Buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 (1997) terbitan Asosiasi Perkeretaapian Indonesia dan CV Angkasa mencatat, NIS dibentuk oleh beberapa pengusaha swasta Belanda yang mendapat konsesi pemerintah Negeri Kincir Angin guna membangun jalur kereta di Hindia Belanda untuk pertama kalinya.
Jalur Batavia-Buitenzorg bukanlah jalur ”ular besi” perdana di Nusantara. NIS terlebih dahulu membangun jalur Semarang (Kemijen)-Tanggung di Jawa Tengah tahun 1864-1867.
Adapun konsesi pembangunan jalur Batavia-Buitenzorg didapatkan NIS pada 27 Maret 1864, kemudian konstruksi yang dipimpin JP Bordes baru terealisasi mulai 15 Oktober 1869. Gubernur Jenderal Hindia Belanda Pieter Mijer menghadiri pencanangan pembangunan.
”Izin diberikan guna membantu pengangkutan hasil perkebunan, termasuk hasil tanam paksa, di wilayah Priangan Barat (berpusat di Sukabumi), seperti teh, kopi, kina, dan barang dagangan lainnya ke Pelabuhan Sunda Kelapa (Batavia),” tutur Ketua Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan.
Dari sisi politik, pemerintahan Hindia Belanda memandang jalur transportasi sangat penting untuk kelancaran hubungan administrasi pemerintahan, apalagi gubernur jenderal sejak 1808 bertempat tinggal di Buitenzorg.
Aktivitas warga di depan Stasiun Jakarta Kota atau Beos di Jakarta Barat, Sabtu (29/10). Stasiun Beos merupakan salah satu tonggak sejarah pemekaran Kota Batavia awal abad ke-20 Masehi mahakarya arsitek kenamaan Frans Johan Louwrens (FJL) Ghijsels yang dibangun tahun 1914.Kompas/Agus Susanto (AGS)
Lebar rel pada jalur Batavia-Buitenzorg ditetapkan 1.067 milimeter, setelah pada jalur Kemijen-Tanggung berukuran 1.435 mm. Penyesuaian ini sesuai keputusan Menteri Urusan Jajahan Belanda de Wall pada 27 September 1869, memperhatikan kesulitan keuangan NIS akibat pembangunan jalur Kemijen-Tanggung. Kartum mengatakan, pengurangan lebar rel itu membuat NIS mampu menghemat anggaran dari yang semula direncanakan 4 juta gulden menjadi 3,3 juta gulden.
Rel jalur Batavia-Buitenzorg tidak langsung jadi dalam sekali proyek. Pembangunannya bertahap. Ruas yang lebih dulu siap, yaitu jalur Kleine Boom (Pasar Ikan)-Koningsplein (Gambir) dengan melewati Stasiun Batavia, dioperasikan mulai 15 September 1871.
Ruas kedua yang dioperasikan adalah Koningsplein-Meester Cornelis (Bukit Duri) mulai 16 Juni 1872, kemudian ruas Meester Cornelis-Buitenzorg resmi beroperasi mulai 31 Januari 1873. Meester Cornelis buatan NIS kini tak lagi difungsikan sebagai stasiun, tetapi menjadi depo atau bengkel kereta listrik.
”Sejak itu, Batavia-Buitenzorg dapat dilalui kereta api dan berlaku untuk masyarakat umum,” ujar Kartum.
Total panjang rel pada jalur tersebut adalah 58,5 kilometer, terdiri dari 55,58 km jalur langsung Batavia-Buitenzorg, 1,058 km jalur simpangan ke Meester Cornelis, serta 1,868 km jalur simpangan ke Kleine Boom.
Dari sisi politik, pemerintahan Hindia Belanda memandang jalur transportasi sangat penting untuk kelancaran hubungan administrasi pemerintahan, apalagi gubernur jenderal sejak 1808 bertempat tinggal di Buitenzorg.
Dengan terhubungnya Batavia-Buitenzorg lewat jalur kereta api, 15 tempat perhentian kereta dibangun untuk melayani konsumen. Nama-namanya ialah Halte Kleine Boom, Hoofdstation Batavia, Overweg Sawah Besaar (Sawah Besar), Halte Noordwijk (Juanda), Halte Koningsplein, Overweg Pegansaan (Pegangsaan), dan Station Meester-Cornelis.
Setelah itu, Halte Passar Mingo (Pasar Minggu), Halte Lenteng Agong (Lenteng Agung), Halte Pondok Tjina (Pondok Cina), Halte Depok, Halte Tjitajam (Citayam), Halte Bodjong Gedeh (Bojonggede), Halte Tjileboet (Cilebut), serta Hoofdstation Buitenzorg. Istilah hoofdstation mengacu pada stasiun utama, sedangkan halte dan overweg merupakan tempat perhentian yang lebih kecil.
Namun, Hoofdstation Batavia tidak sama dengan Stasiun Jakarta Kota meski sama-sama peninggalan penjajah Belanda. Kartum lantas menunjukkan sebuah foto sepuh untuk jadi panduan mencari sisa dari Hoofdstation Batavia yang kemudian dikenal sebagai Batavia Noord (Batavia Utara).
Potret itu menunjukkan, pada 1928 terjadi kecelakaan kereta api di depan gedung Escomptobank. Kereta sampai menjebol pagar stasiun dan masuk ke jalan raya. Jika dicocokkan, pagar mirip dengan pagar beton setinggi lebih kurang 2 meter dan tebal 30-an sentimeter di kawasan Kota Tua sekarang, yang menjadi pembatas sebuah area parkir kendaraan di belakang Museum Sejarah Jakarta (dulunya Stadhuis atau Balai Kota) dengan area jalan menuju Taman Fatahillah. Kartum mengonfirmasi, pagar tembok itu adalah sisa asli dari ujung Stasiun Batavia.
Berdasarkan arsip foto lawas yang dikumpulkan Kartum, stasiun terminus (terakhir) Batavia memang tepat di selatan Stadhuis. Stasiun itu kemudian disebut Batavia Noord karena perusahaan kereta api lainnya, Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS), sekitar tahun 1870 membangun stasiun yang berjarak hanya 200-an meter di selatan Stasiun Batavia buatan NIS. Stasiun milik BOS karena itu disebut Batavia Zuid (Batavia Selatan), serta tersohor juga dengan nama Stasiun Beos (berasal dari pengucapan singkatan BOS).
Pemerintah turut serta
Buku Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1 menginformasikan, Pemerintah Belanda ikut serta meramaikan usaha jasa perkeretaapian di Hindia Belanda dengan mendirikan Staatspoorwegen (SS). Perusahaan ini mula-mula mengerjakan jalan rel jalur Surabaya-Malang sepanjang 112 km dalam kurun 1878-1879. Peran SS menguat dengan pengambilalihan jalur-jalur yang dioperasikan swasta, termasuk NIS dan BOS.
Harian Kompas edisi 27 Maret 2014 mencatat, SS mengambil alih Stasiun Batavia Zuid dan jalur kereta milik BOS pada 1897. Lalu, pada 1913, SS juga membeli jalur kereta Batavia-Buitenzorg milik NIS.
Pada 1915, SS mulai berniat menyatukan pengoperasian Stasiun Batavia Noord dan Batavia Zuid dengan cara membangun satu stasiun utama baru pada lokasi Batavia Zuid. Bangunan Batavia Zuid pun dirobohkan pada 1926 untuk memulai perombakan. Sambil menunggu pembangunan selesai, operasional kereta api dialihkan ke Stasiun Batavia Noord sehingga emplasemen ditingkatkan menjadi 16 jalur kereta.
Pada kurun peralihan operasional tersebut, sempat terjadi kecelakaan kereta tahun 1928 seperti terekam dalam foto lawas Kartum. Akhirnya, stasiun baru diresmikan pada 8 Oktober 1929 dengan nama Stasiun Benedenstad atau sekarang disebut Stasiun Jakarta Kota. Adapun bangunan Batavia Noord, bagian dari pelopor perkeretaapian di Batavia, dibongkar dan tidak dioperasikan lagi.
NIS boleh jadi perusahaan asal negara penjajah, tetapi, bagaimanapun, perusahaan itu merupakan peletak batu pertama bagi sejarah ”ular besi” di DKI Jakarta.
Denyut perkeretaapian hingga kini turut menghidupkan geliat di Jakarta. Kereta rel listriknya PT KAI Commuter Indonesia, misalnya, pada 2018 menjadi andalan 922.736 penumpang per hari untuk bepergian di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Lebak.
Selamat menjelang Hari Kereta Api Nasional 28 September 2019.