
Logo resmi perayaan 100 tahun operasional kereta listrik di Indonesia, dengan siluet KRL Electrische Staatsspoorwegen, KRL Rheostatik, KRL seri 205, dan KRL seri CLI-125
Operasional kereta listrik di Indonesia telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang. Keberadaan moda transportasi massal yang modern, dapat mengangkut banyak orang, murah, cepat, dan ramah lingkungan ini setidaknya telah mulai dipelajari kelayakannya oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak lebih dari 100 tahun yang lalu.
Kereta listrik terus berkembang di Indonesia setelah kemerdekaan. Jaringannya terus meluas, armadanya semakin panjang dan canggih, dan penumpangnya semakin banyak. Kereta listrik yang digagas oleh pemerintah kolonial lebih dari 100 tahun yang lalu kini telah memegang peranan penting sebagai tulang punggung transportasi di dua kota besar yaitu Jakarta dan Yogyakarta.
Studi Kelayakan Elektrifikasi Jalur KA

Foto bersama IRPS dan KAI Commuter serta undangan di depan gedung PLTA Ubrug di tepian Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi (dok. IRPS)
Elektrifikasi jalur kereta api di Hindia Belanda telah lama dibicarakan oleh pemerintah kolonial, dipicu oleh keberhasilan elektrifikasi jalur Rotterdam-Den Haag pada tahun 1908. Pada tahun 1911, seorang insinyur di operator kereta api pelat merah kolonial Staatsspoorwegen, M. H. Damme, ditugaskan untuk memelajari kemungkinan elektrifikasi jalur kereta api di Jawa. Damme berkeliling Eropa, dan berkesimpulan jika elektrifikasi sangat mungkin dibangun di Jawa dan akan menguntungkan Staatsspoorwegen.
Studi Damme dilanjutkan oleh Kepala Teknisi Staatsspoorwegen P. A. Roelofsen, yang memelajari kelayakan penggunaan tenaga air sebagai sumber daya listrik kereta. Tahun 1913, Staatsspoorwegen menyelesaikan akuisisi jalur kereta Jakarta-Bogor, yang kemudian akan menjadi proyek pertama elektrifikasi di Hindia Belanda. Di tahun 1915, pemerintah kolonial mendirikan Biro Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) sebagai tindak lanjut studi Roelofsen.
Berdasarkan kedua laporan tersebut, Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum yang didukung Wakil Ketua Dewan Hindia Andries Cornelis Dirk de Graeff menyetujui proyek elektrifikasi kereta di Jawa tahun 1918. Tanpa menunggu lama, pembangunan PLTA Ubrug di Sungai Cicatih, Cibadak, Sukabumi dan PLTA Kracak di Sungai Cianten, Bogor segera dimulai. PLTA Ubrug dibangun mulai tahun 1919, sementara PLTA Kracak dibangun mulai tahun 1921.
Di tahun 1920, Dr. Ir. G. de Gelder didatangkan menjadi teknisi kepala proyek elektrifikasi. Ia mempresentasikan rencana elektrifikasi di dalam Jakarta, kala itu masih bernama Batavia, dan jalur ke Bogor, kala itu masih bernama Buitenzorg. Rencana ini pun langsung disetujui pemerintah kolonial saat itu.
Pembangunan Dimulai
Di tahun 1921, semua material dan perlengkapan kelistrikan telah selesai didatangkan untuk kedua PLTA. Kedua PLTA akan menghasilkan tegangan 70 kV AC untuk keperluan operasional kereta listrik. Sayangnya, di tahun 1923, pembangunan PLTA Kracak dihentikan sementara akibat keterbatasan anggaran atau masalah pendanaan lokal, yang kemudian menunda pembangunan elektrifikasi ke Buitenzorg.
Pada Juli 1923, elektrifikasi jalur dimulai pada koridor Tanjung Priok ke Jatinegara, kala itu masih bernama Meester Cornelis. PLTA Ubrug juga telah mulai operasional di tahun yang sama, mengalirkan listrik ke gardu traksi yang dibangun di Kedungbadak, Depok, Jatinegara, dan Ancol. Walau demikian, Kedungbadak dan Depok mungkin belum operasional sampai 1929. Di gardu traksi, listrik 70 kV AC diubah menjadi 1.500 V DC baru kemudian dialirkan ke jaringan listrik aliran atas.
Di tahun 1924, armada pertama kereta listrik yang terdiri dari dua lokomotif listrik seri 3000 buatan pabrik Schweizerische Lokomotiv und Maschinenfabrik asal Swiss dan tiga lokomotif listrik seri 3100 buatan pabrik Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft AG asal Jerman tiba di Batavia. Tak lama berselang, armada KRL yang didatangkan dari Belanda dan bergaya Amerika juga tiba di Batavia.
100 Tahun Lalu, Akhirnya Kereta Listrik Beroperasi
Pada 24 Desember 1924, uji coba kereta listrik sukses dilaksanakan dan dianggap memuaskan. 1 Maret 1925, koridor Tanjung Priok ke Meester Cornelis dinyatakan siap dioperasikan menggunakan kereta listrik. Namun, peresmian operasional kereta listrik baru dilakukan pada 6 April 1925 di Stasiun Tanjung Priok untuk rute Tanjung Priok-Meester Cornelis. Tanggal 6 April ini bertepatan dengan perayaan 50 tahun Staatsspoorwegen. Operasional KRL kemudian dilakukan oleh Electrische Staatsspoorwegen, anak usaha yang didirikan oleh Staatsspoorwegen khusus untuk operasional kereta listrik.
Perayaan operasional perdana kereta listrik di Batavia sangat meriah, tercermin dalam telegram yang dikirimkan oleh van Schalk, Kepala Eksploitasi Staatssporwegen, kepada Kepala Inspektur Staatssporwegen di Bandung, yang berbunyi “Feesttreinen uitpuilend vol. Belangstelling phenomenaal. Publiek weigert station te verlaten, en wordt met trompetgeschal uitgemsten. Electrotreinen punctueel” yang berarti “Kereta pesta penuh sesak. Minatnya fenomenal. Masyarakat menolak meninggalkan stasiun sehingga stasiun dipenuhi dengan tiupan terompet. Kereta listrik tepat waktu”.
Armada lokomotif listrik dan kereta listrik terus berdatangan dari berbagai pabrikan. Lokomotif seri 3200 menjadi lokomotif listrik pertama buatan Belanda yang tiba di Batavia pada tahun 1925 sebanyak 6 unit, buatan Nederlandsche Fabriek van Werktuigen en Spoorwegmaterieel. Kemudian, lokomotif listrik seri 3300 buatan Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft AG menjadi satu-satunya lokomotif khusus angkutan barang yang didatangkan tahun 1930.
Armada KRL sendiri pada akhirnya mencapai 50 unit yang dibagi ke dalam lima jenis. Kelima jenis KRL tersebut adalah kereta berpenggerak MBCW-100 sebanyak 10 unit, kemudian kereta berpenggerak MABDW-200 sebanyak 10 unit, kereta berpenggerak MBDW-300 sebanyak 3 unit, kereta berpenggerak MBDW-400 sebanyak 2 unit, dan kereta pengikut VCW-700 sebanyak 25 unit.
KRL-KRL ini dibuat oleh tiga pabrikan berbeda di Belanda. Ketiga pabrikan tersebut adalah Nederlandsche Fabriek van Werktuigen en Spoorwegmaterieel, Allan & Co’s Koninklijke Nederlandsche Fabrieken van Meubelen en Spoorwegmaterieel, dan Koninklijke Fabriek van Rijtuigen en Spoorwagens J.J. Beijnes.
Di tahun 1930an, seluruh kereta MBCW-100, MBDW-300, dan MBDW-400 menjalani modifikasi perubahan kelas menjadi MABW-100, MABDW-300, dan MABDW-400 dengan menambah kelas A yang diperuntukan untuk orang Belanda. VCW-700 menjadi satu-satunya jenis KRL yang dapat digunakan oleh orang pribumi kelas bawah pada masa itu.
Jaringan kereta listrik di Batavia kemudian dilanjutkan pembangunannya pada tahun 1926. 1 Mei 1927, ruas Manggarai-Weltevreden-Batavia Zuid, meneruskan jaringan elektrifikasi Meester Cornelis-Manggarai-Bukit Duri di mana Bukit Duri menjadi depo induk dan Balai Yasa Manggarai sebagai tempat perawatan berat armada lokomotif listrik dan KRL, selesai dibangun. Dan akhirnya pada 23 November 1929, kereta listrik sudah dapat dioperasikan hingga Buitenzorg, di mana bangunan baru Stasiun Jakarta Kota hasil penyatuan Batavia Noord dan Batavia Zuid juga selesai di tahun yang sama. Kereta listrik beroperasi secara penuh ke Buitenzorg pada 1 Mei 1930.
Perang Dunia Kedua dan Kemerdekaan Indonesia

KRL Electrische Staatsspoorwegen bernomor MABDW-206 dalam keadaan rusak dan berkarat setelah kemerdekaan (Istimewa)
Kereta listrik tetap beroperasi melayani penumpang walau situasi sulit karena Perang Dunia Kedua dan invasi Jepang ke Hindia Belanda di tahun 1942. Pengambilalihan Hindia Belanda dari Belanda pada Jepang tak semerta-merta menghentikan operasional kereta listrik. Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, kereta listrik pun tetap beroperasi.
Namun, karena usia armada yang semakin tua, armada KRL mulai bertumbangan di tahun 1960an. KRL-KRL yang sudah mulai memasuki usia menjelang 40 tahun tersebut kemudian banyak yang dikonversi menjadi kereta pengikut yang dihela lokomotif. Dua unit, yaitu MABW-104 dan sebuah MABDW-200 dikonversi menjadi kereta diesel bernomor MCW-104 dan MCW-200.001 yang sayangnya tak bertahan lama.
Di antara unit-unit KRL Electrische Staatsspoorwegen yang dikonversi menjadi kereta pengikut yang dihela lokomotif tersebut terdapat dua unit yang kemudian masih eksis di era milenium. Adalah kereta MCDW-301 eks MABDW-301 eks MBDW-301 dan kereta VCW-713, yang disimpan di Gudang Cikudapateuh sejak tahun 1980an hingga dipindahkan ke Balai Yasa Manggarai tahun 2021. Kedua kereta ini mungkin pernah aktif sebagai kereta lokal di wilayah Daop 2 Bandung sebelum pensiun. Saat ini, kedua kereta ini masih menunggu kepedulian untuk proses restorasi agar dapat tampil sebagai saksi sejarah layaknya lokomotif nomor 3202 yang dinomori ulang menjadi 3201, yang bahkan bisa sampai beroperasi kembali.
Sejak pensiunnya KRL peninggalan Electrische Staatsspoorwegen, praktis tulang punggung operasional kereta listrik di Jakarta hanya bergantung pada lokomotif listrik yang jumlahnya sedari awal memang hanya sedikit, hanya 14 unit. Layanan kereta Jakarta-Bogor kala itu harus dibantu lokomotif diesel seperti halnya BB201 yang pada awalnya dialokasikan ke Depo Bukit Duri. Itupun jumlah lokomotif listrik juga berkurang, seperti saat lokomotif nomor 3201 mengalami tabrakan dengan KA lain di Ratujaya, Depok, di tahun 1968.
Bahkan, jaringan elektrifikasi antara Manggarai-Jakarta Kota sempat akan dibongkar oleh Presiden Soekarno menjelang akhir kekuasaannya hanya karena alasan estetika di sekitar istana. Saat itu, jaringan elektrifikasi sudah sempat dibongkar sebagian. Namun, Presiden Soekarno keburu lengser dan digantikan oleh Presiden Soeharto, sehingga pembongkaran tak jadi dilakukan, dan jaringan elektrifikasi yang sempat dibongkar dipasang kembali.
Secercah Cahaya Matahari Terbit
Laporan harian Kompas pada 16 Mei 1972 menulis bahwa Pemerintah Indonesia akan memesan 10 rangkaian KRL dari luar negeri untuk meningkatkan penggunaan angkutan umum dan mengurangi kemacetan di Jakarta. Pemesanan rangkaian KRL ini dilakukan melalui bantuan Official Development Assistant (ODA) dari Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).
KRL yang diproduksi oleh beberapa pabrikan seperti Nippon Sharyo, Kinki Sharyo, Kawasaki Heavy Industries, dan Tokyu Car Corporation ini baru tiba di Indonesia pada tahun 1976. KRL yang tiap rangkaiannya terdiri dari 4 kereta dengan 2 pintu di tiap sisinya ini di kemudian hari dikenal sebagai KRL Rheostatik, karena teknologi yang digunakannya.
Walau diproduksi pada tahun 1970an, KRL Rheostatik menggunakan standar pelayanan dan keamanan yang digunakan oleh Jepang di tahun 1940an. Sementara KRL yang digunakan di Jepang, seperti beberapa jenis KRL yang diekspor secara bukan baru ke Indonesia antara 2000-2018, pada saat itu sudah menggunakan teknologi yang jauh lebih modern, dan kenyamanan serta keamanan yang jauh lebih baik. Konon, ini memang kebijakan Pemerintah Jepang dalam memberikan ODA ke negara berkembang.
Meski KRL buatan Jepang ini datang dengan standar yang lebih lawas untuk Indonesia, namun JICA juga melakukan berbagai studi untuk pengembangan kereta komuter di Indonesia, khususnya di Jabodetabek. Pembangunan jalur ganda Manggarai-Bogor dan jalur layang Manggarai-Jakarta Kota mulanya berawal dari studi yang dilakukan oleh JICA di tahun 1970-1980an.
Elektrifikasi di koridor lingkar Jakarta, Tanah Abang-Serpong, Duri-Tangerang, dan Jatinegara-Bekasi, pembangunan Depo KRL Depok, serta pembangunan jalur kereta Citayam-Nambo yang merupakan tahap pertama jalur kereta lingkar luar Jakarta juga berawal dari studi yang dilakukan oleh JICA. Selain itu, Pemerintah Indonesia bersama JICA juga menata Stasiun Kampung Bandan dengan membangun jalur penghubung antara jalur dari Stasiun Angke dan jalur dari Stasiun Rajawali sehingga operasional kereta dari Angke ke arah Jatinegara dimungkinkan.
KRL Rheostatik sendiri disempurnakan desainnya pada tahun 1978 dengan mengubah konfigurasi pintu menjadi 3 per sisi. Di tahun 1986, desain KRL Rheostatik disempurnakan lagi dengan mengganti material badan kereta dari baja biasa menjadi baja tahan karat. Wajah KRL Rheostatik berbahan baja tangan karat sendiri dibuat aerodinamis, di mana KRL ini kemudian banyak dimodifikasi menjadi kelas bisnis untuk operasional KRL ekspres di akhir 1990an. Bahkan, ada pula satu rangkaian yang dimodifikasi menjadi kelas eksekutif, dan digunakan untuk peresmian jalur layang Manggarai-Jakarta Kota oleh Presiden Soeharto di tahun 1992.
KRL Rheostatik rampung didatangkan pada tahun 1987 dengan jumlah total 120 unit. Dua rangkaian terakhir KRL Rheostatik dirakit di pabrik kereta api nasional, INKA, yang mulai beroperasi tahun 1981 atas prakarsa dari Pemerintah Jepang di tahun 1979. Awal mula INKA cukup unik, karena awalnya Sumitomo Corporation merasa akan kalah saing dengan Korea Selatan dan Rumania dalam pengadaan 400 unit gerbong barang untuk Indonesia, sehingga Sumitomo lewat Pemerintah Jepang menawarkan produksi gerbong secara lokal di Indonesia yang diasistensi oleh Jepang dengan mendirikan sebuah pabrik pembuatan kereta api, yang langsung disetujui Pemerintah Indonesia.
Memasuki Era Modern
Jalur ganda Manggarai-Bogor akhirnya dibangun jelang akhir 1980an, dengan koridor Manggarai-Depok menjadi tahap pertama yang dibangun. Pemilihan Manggarai-Depok sebagai tahap pertama pembangunan tentu sangat masuk akal mengingat jalur kereta belum memasuki jalur pegunungan dengan gradien yang lebih tajam. Stasiun Manggarai berada di ketinggian 13 meter di atas permukaan laut, sementara Stasiun Depok di ketinggian 93 meter, dan Stasiun Bogor di ketinggian 246 meter.
Dengan keadaan geografis tersebut, perjalanan sejauh 22,794 km antara Manggarai ke Depok menanjak hanya setinggi 80 meter saja. Sementara perjalanan sejauh 22,126 km antara Depok ke Bogor menanjak setinggi 153 meter. Artinya, rata-rata gradien antara Manggarai-Depok dan Depok-Bogor lebih terjal Depok-Bogor, di mana segmen Depok-Bogor sendiri memang terdapat lebih banyak tikungan tajam.
Antara 1990-1994, elektrifikasi koridor Jatinegara-Bekasi dan Tanah Abang-Serpong dimulai. Walaupun studi dilakukan oleh JICA, namun elektrifikasi koridor Tanah Abang-Serpong justru dibantu oleh Pemerintah Perancis melalui konsultan Systra, sementara Jatinegara-Bekasi tetap oleh JICA. Gardu traksi yang dibangun di Karet, Limo, dan Jurangmangu mulai dinyalakan pada 3 Juli, 3 Agustus, dan 3 Desember 1994. Dua gardu traksi baru dibangun di Stasiun Serpong dan eks-Stasiun Pondok Betung yang beroperasi per April 1997. Dalam kurun waktu yang hampir sama, koridor Duri-Tangerang mulai dielektrifikasi pada tahun 1997, dan empat gardu traksi di koridor ini mulai dinyalakan pada tahun 1999.
Di era ini, INKA juga mulai ditugaskan untuk membuat KRL baru untuk keperluan di Jakarta. Walau INKA berdiri atas prakarsa Jepang, namun calon suplier untuk KRL yang akan dibuat oleh INKA akan dipilih dari luar Jepang. Beauty contest untuk suplier pun dilakukan. Konsorsium Asea Brown Boveri dan Hyundai Precision & Industries Corporation merakit 2 rangkaian KRL dengan susunan rangkaian yang sama dengan KRL Rheostatik, yang beroperasi sejak 1993.
Tahun 1994, konsorsium lain yang terdiri dari La Brugeois et Nivelles dan NV Holec Ridderkerk merakit 6 rangkaian KRL. Konsorsium inilah yang kemudian terpilih dan memproduksi KRL yang dikenal dengan nama Holec hingga tahun 2001 sebanyak 128 unit. KRL buatan Hyundai tetap beroperasi, namun karena tiadanya dukungan suku cadang akibat kalah dalam beauty contest, KRL ini berumur pendek.
Di tahun 1997, INKA kembali menggandeng Jepang dalam pembuatan 6 rangkaian KRL. Propulsi KRL tersebut dibuat oleh Hitachi, dengan konstruksi badan dan bogie KRL berbasis KRL seri 205 milik East Japan Railway Company yang mulai tahun 2013 hingga 2020 didatangkan secara bukan baru ke Indonesia. Walau jumlah KRL ini jauh lebih sedikit dari KRL Holec, namun KRL ini lebih andal, tak seperti KRL Holec yang sering mogok.
Awal Mula Kerajaan KRL Eks Jepang
Sejak era kemerdekaan, Jepang memang sepertinya tak bisa lepas dari sejarah perkembangan kereta listrik di Indonesia. Walaupun pada awalnya Jepang membantu dengan bentuk mengekspor KRL baru dengan spesifikasi khusus ke Indonesia, situasinya berubah sejak tahun 2000.
Di tahun 1990an, Kaisar Akihito berkunjung ke Indonesia, dan merasa prihatin ketika melihat keadaan kereta listrik di Indonesia yang saat itu belum menggunakan pendingin udara, dan penuh sesak hingga pintu otomatis diganjal sampai rusak dan bahkan penumpang naik di atap kereta. Kaisar menawarkan pada Pemerintah Indonesia bantuan hibah armada KRL untuk modernisasi armada kereta listrik di Jakarta.
Sepulangnya dari kunjungan tersebut, Kaisar memerintahkan Walikota Tokyo pada saat itu, Kiyotoshi Yokomizo, memeriksa jalur kereta bawah tanah Mita yang dioperasikan oleh Biro Transportasi Kota Tokyo yang sedang menjalani peremajaan armada KRL. Kemudian diputuskan bahwa KRL seri 6000, yang sedang digantikan dengan KRL seri 6300, akan dihibahkan ke Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia juga menyiapkan kedatangan KRL seri 6000 ini. Pengukuran dilakukan oleh Divisi Jabotabek yang didirikan oleh KAI tahun 1999 di semua lintas operasional KRL, khususnya di lintas yang masih memiliki stasiun dengan peron rendah, untuk kemudian disesuaikan. Standar ruang bebas kereta api di Jepang dan Indonesia berbeda, di mana kereta api spesifikasi Jepang lebih tinggi dengan bagian bawah yang lebih lebar dari spesifikasi Indonesia yang mengerucut. Meski demikian, lebar badan kereta spesifikasi Indonesia umumnya lebih lebar dari ukuran kereta bawah tanah Jepang.
KRL seri 6000 akhirnya tiba di Pelabuhan Tanjung Priok mulai tahun 2000. Sebanyak 72 unit KRL yang seluruhnya berpenggerak baik kereta berkabin maupun kereta tengah ini dihibahkan, dan awalnya disusun sebagaimana susunan aslinya yaitu 6 kereta per rangkaian. Namun kemudian, sebanyak 3 rangkaian disusun ulang menjadi 8 kereta per rangkaian. Hal ini menyebabkan sebanyak 18 unit kereta tengah tidak dapat disusun menjadi rangkaian sama sekali.

KRL seri 6000 hibah, dengan kabin modifikasi kreasi Balai Yasa Manggarai (Andi Ardiansyah/IRPS Jakarta)
Ke-18 unit sisa kereta tengah tersebut kemudian dikreasikan oleh tangan-tangan kreatif di Balai Yasa Manggarai yang menambah kabin masinis beserta perlengkapannya, dan dijadikan 3 rangkaian dengan 6 kereta per rangkaian. KRL seri 6000 ini segera beroperasi sebagai KRL ekspres, dengan kenyamanan lebih baik dari KRL Rheostatik modifikasi kelas bisnis maupun modifikasi eksekutif dengan pendingin udara yang sudah ada sebelumnya.
Dibanding dengan KRL-KRL yang sudah ada sebelumnya, KRL seri 6000 menggunakan kursi memanjang dengan bahan busa yang dilapisi beludru. Jumlah pintu juga lebih banyak dengan 4 pintu per sisi dengan bahan baku baja tahan karat untuk badan kereta, serta pendingin udara di semua keretanya. Kenyamanan yang ditawarkan KRL seri 6000 jauh lebih baik dari KRL yang sudah ada sebelumnya. Walaupun KRL ini dibuat mulai tahun 1968, KRL seri 6000 dibuat dengan standar lokal Jepang dibanding dengan KRL Rheostatik yang dibuat dengan standar ekspor.
Di sisi lain, INKA dan Jepang juga membuat purwarupa KRL berpendingin udara yang dikenal dengan Kereta Rel Listrik Indonesia (KRLI). KRLI dibuat dengan propulsi variable voltage variable frequency (VVVF) buatan Toshiba. Propulsi VVVF sendiri sudah digunakan di Indonesia sejak 1993, walaupun belum sukses hingga kehadiran KRL Hitachi. Spesifikasi KRLI masih mengikuti spesifikasi Indonesia yaitu 3 pintu per sisi dan 4 kereta per rangkaian, dan dibuat sebanyak 2 rangkaian.
KRLI sendiri mulai beroperasi tahun 2003 dan sering digunakan sebagai KRL ekspres. Di tahun 2007, KRL ini dialihkan operasionalnya menjadi KRL Lingkar Ciliwung. Namun KRLI, sebagaimana KRL Holec, sering mengalami gangguan, dan akhirnya berhenti beroperasi di tahun 2014.
Dianggap Lebih Baik dari Teknologi Eropa
Dengan KRL Holec yang berteknologi Eropa sering mogok dibanding KRL Rheostatik, KRL Hitachi, dan KRL seri 6000, serta perawatan KRL buatan Jepang yang lebih sederhana, membuat KAI kembali berniat mendatangkan KRL dari Jepang. Di tahun 2004, KAI membeli 16 unit KRL lagi dari Jepang, bukan hibah. KRL tersebut adalah KRL seri 103 dari East Japan Railway Company, yang bentuk kabin masinisnya menjadi inspirasi KRL Rheostatik.
KRL seri 103 berbeda dengan KRL seri 6000 dan KRL lain yang akan didatangkan kemudian, dengan bahan baku baja biasa. KRL ini berasal dari Jalur Musashino, dan aslinya beroperasi dengan susunan 8 kereta per rangkaian. Namun KAI membeli KRL ini sebanyak 4 rangkaian dengan 4 kereta per rangkaian, di mana saat itu beberapa jalur KRL seperti Lin Tangerang memang masih menggunakan rangkaian pendek. Saat itu KRL ini sedang digantikan dengan KRL seri 205 hasil retrofit, yang di tahun 2018-2020 “dibedol desa” juga dari jalur tersebut ke Jakarta, menyusul KRL seri 205 lainnya yang didatangkan sebelum itu.
Mulai tahun 2005, KRL baja tahan karat lainnya dibeli KAI dari Jepang, yaitu KRL seri 8000 dari Tokyu Railway. Tahun berikutnya, 2006, penyempurna KRL seri 8000 yaitu KRL seri 8500 didatangkan juga dari perusahaan yang sama. Antara 2005-2009, sebanyak 3 rangkaian KRL seri 8000 dan 7 rangkaian KRL seri 8500 telah didatangkan oleh KAI.
1 rangkaian KRL seri 8500 didatangkan di tahun 2009 oleh KAI Commuter Jabodetabek, peningkatan status dari Divisi Jabotabek menjadi anak usaha KAI, yang berdiri pada tahun 2008. KRL seri 8500 dengan nomor rangkaian 8613F ini kemudian diberi nama “JALITA”, yang merupakan akronim dari “Jalan-jalan Lintas Jakarta”.
KRL Eks Jepang Tersandung Kasus Korupsi
Kesuksesan KRL eks Jepang ini juga dilirik oleh Pemerintah Indonesia lewat Departemen Perhubungan (kini Kementerian Perhubungan). Melalui Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang dibentuk tahun 2005, pemerintah menyelidiki kemungkinan pengadaan KRL dari Tokyu Railway langsung di bawah Departemen Perhubungan.
Menurut rumor yang saat itu populer, konon aslinya sebanyak 6 rangkaian KRL yang terdiri dari campuran seri 8000, 8090, dan 8590 ditarget untuk didatangkan ke Indonesia. Bahkan salah satu rangkaian KRL seri 8090 yang ditarget sudah difoto bersama salah satu rangkaian KRL seri 8000 yang sudah didatangkan di tahun 2005 oleh KAI, dan foto rangkaian KRL seri 8090 tersebut dipajang di dalam rangkaian KRL seri 8000 yang sudah didatangkan tersebut.
Namun, yang kemudian datang di akhir 2006 justru adalah KRL seri 5000 eks Tokyo Metro dan KRL seri 1000 eks Toyo Rapid Railway. Dalam laporan perjalanan dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian, KRL seri 1000 dan 5000 ini ditulis “lebih canggih dari KRL seri 8000 dan 8500”. Pada saat itu, Tokyu Railway memang mengoperasikan juga KRL seri 1000 dan 5000 yang memang benar lebih canggih dan lebih muda dari KRL seri 8000 dan 8500. Tapi KRL seri 1000 dan 5000 yang didatangkan Departemen Perhubungan ini sama sekali berbeda dengan KRL seri 1000 dan 5000 milik Tokyu Railway.
KRL seri 5000 adalah KRL yang dibuat mulai 1964 dan pernah beroperasi di jalur bawah tanah Tozai dan Chiyoda. Bahkan, KRL ini ditarik lokomotif uap saat keluar dari pabrik. Sebanyak 20 rangkaian dijual ke Toyo Rapid Railway di tahun 1995, dan dimodifikasi serta dinomori ulang menjadi KRL seri 1000. Modifikasi meliputi perubahan bentuk kabin masinis, penggantian pintu penumpang, dan penggantian panel interior.
Sebanyak 3 rangkaian KRL seri 5000 dan 3 rangkaian KRL seri 1000 sudah berada di tempat pembesituaan. Namun kemudian ke-6 rangkaian KRL ini diangkut ke Indonesia beserta lokomotif yang melangsirnya ke pelabuhan, yaitu lokomotif DD5512 yang kini ada di Subdepo Lokomotif Tuntang. Masalah pengadaan KRL ini terendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di kemudian hari.
Ke-6 rangkaian KRL ini di Jepang beroperasi dengan susunan 10 kereta per rangkaian, yang dipotong menjadi 8 kereta per rangkaian di Indonesia. Unit-unit surplus dibiarkan mangkrak di Depo KRL Depok sebagai sumber suku cadang.
KRL dari Jepang Menjadi Tulang Punggung Baru
KRL dari Jepang tetap berdatangan ke Indonesia. Setelah pendirian KAI Commuter Jabodetabek, di tahun 2010 perusahaan mendatangkan 4 rangkaian KRL seri 7000 dan 5 rangkaian KRL seri 05 dari Tokyo Metro. Dibanding dengan KRL seri 6000, 103, 8000, 8500, 5000, dan 1000, kedua jenis KRL ini merupakan KRL yang sangat nyaman dan disenangi oleh penumpang karena lebih modern dan pendingin udaranya lebih sejuk.
Di tahun 2011, perusahaan juga mendapatkan KRL seri 203 eks East Japan Railway Company limpahan peruntukan dari Filipina ke Indonesia. Konon, saat itu Filipina akan mendapatkan hibah 10 rangkaian KRL seri 203. Namun, Filipina hanya mampu membayar pengapalan 4 rangkaian saja, sehingga 5 rangkaian kemudian dialihkan ke Indonesia dan 1 rangkaian lainnya dibesituakan di Jepang sebagai sumber suku cadang untuk saudara-saudaranya yang diekspor ke dua negara.
Sebagaimana KRL seri 1000 dan 5000, KRL seri 05, 203, 6000, dan 7000 di Jepang juga beroperasi dengan susunan 10 kereta per rangkaian, yang dipotong menjadi 8 kereta per rangkaian di Indonesia. Unit-unit surplus dibiarkan mangkrak di Depo KRL Depok sebagai sumber suku cadang.
Pengadaan dalam jumlah besar pertama kali dilakukan antara 2011-2013, di mana perusahaan mendatangkan total 3 rangkaian KRL seri 05 tambahan dan 13 rangkaian KRL seri 6000 dari Tokyo Metro. Dari 16 rangkaian ini, terdapat 2 rangkaian yang tak langsung dapat dioperasikan selama beberapa tahun berikutnya, dan 2 rangkaian yang umur operasionalnya sangat pendek.
KRL INKA Lainnya, Penghentian KRL Ekonomi, Perpanjangan Elektrifikasi, Tiket Elektronik
Di tahun 2011, Kementerian Perhubungan melakukan pengadaan KRL dari INKA dengan pendanaan dari Jerman sebanyak 10 rangkaian. Namun spesifikasinya masih klasik, sebagaimana KRLI. Hanya saja, KRL yang diberi nomer seri i9000 ini sudah menggunakan kursi busa dengan konfigurasi memanjang, mengikuti KRL Jepang. Layanan KRL ekspres juga dihentikan di tahun yang sama, dan diganti dengan KRL Commuter Line yang berhenti di semua stasiun, dengan pola operasi yang lebih sederhana. Sedangkan, elektrifikasi Serpong-Parungpanjang juga dibuka dengan perpanjangan layanan KRL Ciujung.
Pada tahun 2013, perusahaan akhirnya berhasil mencatatkan sejarah dengan menghentikan operasional KRL ekonomi di seluruh lintas seiring dengan kedatangan armada KRL dari Jepang dan juga KRL seri i9000. Penghentian operasional KRL ekonomi sudah dilakukan sejak beberapa tahun sebelumnya, dimulai dari Tanah Abang-Serpong, Duri-Tangerang, Jakarta-Bekasi, dan terakhir Jakarta-Bogor. Di tahun yang sama, elektrifikasi Serpong-Parungpanjang telah selesai diperpanjang menuju ke Maja, dan penggunaan tiket elektronik telah sepenuhnya dilakukan.
Berakhirnya operasional KRL ekonomi bukan berarti akhir dari KRL Holec. Sebanyak 24 unit KRL Holec dikirim ke INKA untuk diretrofit menjadi KRL berpendingin udara. Sayangnya, umur retrofit KRL ini bahkan hanya bertahan tidak sampai 1 tahun, dan KRL ini kembali ditarik dari operasional di tahun 2014.
Satu Seri KRL dalam Jumlah Sangat Besar

Kesuksesan KRL seri 205 membuatnya menjadi KRL eks Jepang terbanyak yang diimpor Indonesia. Sebanyak 812 unit diimpor sejak 2013 hingga 2020, 798 unit di antaranya masih aktif. (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
Usai rampung mendatangkan KRL seri 6000 dari Tokyo Metro di tahun 2013, perusahaan kembali mendatangkan KRL dari Jepang. Kali ini KRL yang didatangkan adalah KRL seri 205 dari East Japan Railway Company. Sebanyak 18 rangkaian dengan 10 kereta per rangkaian didatangkan di tahun 2013-2014.
Kisah KRL seri 205 di Indonesia sebenarnya dimulai bahkan sejak tahun 2011. Kala itu, rumor yang beredar adalah perusahaan sebenarnya berniat mendatangkan KRL seri 205, namun dengan syarat harus mendatangkan KRL seri 113 yang lebih tua. Sehingga pengadaan urung dilakukan dan dialihkan ke KRL jenis lain.
Akhirnya di tahun 2013, KRL seri 205 bisa didatangkan. KRL seri 205 yang didatangkan saat itu berasal dari Jalur Saikyo, dan 16 rangkaian di antaranya memiliki dua unit kereta dengan 6 pintu per sisi. Di Jepang, kereta dengan 6 pintu per sisi ini biasanya akan digunakan sebagai kereta khusus berdiri pada saat jam sibuk, dan kursi penumpang akan dilipat menjadi sandaran. Namun kereta semacam ini tak lagi digunakan di Jepang, terutama karena pemasangan pintu tepi peron. Selain itu, pendingin udara untuk kereta ini juga seringkali tak maksimal mendinginkan suhu udara di dalam kereta.
KRL ini langsung dioperasikan dengan susunan rangkaian aslinya, pada awalnya hanya di antara Jakarta Kota-Bogor. Peron stasiun di Jakarta Kota dan antara Manggarai-Bogor diperpanjang untuk mengakomodir operasional KRL ini. 1 rangkaian KRL seri 203 bahkan pernah disusun ulang menjadi 10 kereta untuk mengisi kekurangan kebutuhan operasional KRL seri 205 ini. Rangkaian yang lebih panjang ini kemudian langsung disukai penumpang karena kapasitasnya yang lebih banyak, sehingga sangat membantu ketika jam sibuk.
KRL Seri 205 Ternyata Sangat Modular

KRL seri 205 mudah disusun ulang rangkaiannya, bahkan KRL seri 205 dari Jalur Yokohama saja bisa menjadi 10 atau 12 kereta per rangkaian (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
KRL seri 205 ini segera disukai oleh internal perusahaan dan menjadi standar pelayanan serta standar teknis, sehingga di tahun 2014 segera didatangkan lagi sebanyak 22 rangkaian KRL seri 205 dengan 8 kereta per rangkaian dari Jalur Yokohama. Dengan 40 rangkaian KRL seri 205, KRL-KRL yang sudah lebih lama beroperasi dapat segera diremajakan. Antara tahun 2014-2016, KRL seri 6000 eks Toei dan KRL seri 103 dipensiunkan, begitu pula dengan KRLI. Sementara KRL seri i9000 dioperasikan di lintas sekunder, seperti Lin Tanjung Priok yang dibuka kembali tahun 2015.
Di tahun 2015, perusahaan kembali mendatangkan 20 rangkaian KRL seri 205, kali ini dengan susunan 6 kereta per rangkaian dari Jalur Nambu. Pada masa itu, 6 kereta per rangkaian sudah terlalu pendek untuk kebutuhan di Jakarta, sehingga diputuskan untuk menggandeng dua rangkaian KRL ini menjadi satu rangkaian 12 kereta. Uji coba intensif dilakukan sepanjang awal 2015, diikuti dengan perpanjangan peron, sehingga KRL seri 205 rangkaian 12 kereta dapat dioperasikan penuh jelang akhir 2015 ke Bogor dan Bekasi.
Mengetahui bahwa KRL seri 205 sangat modular dan mudah disusun ulang, perusahaan menyusun ulang ke-22 rangkaian KRL seri 205 rangkaian 8 kereta dari Jalur Yokohama, 1 rangkaian gabungan KRL seri 205 rangkaian 8 kereta dari Jalur Saikyo yang terlibat dalam kecelakaan di Stasiun Juanda, 1 rangkaian KRL seri 205 rangkaian 10 kereta dari Jalur Saikyo, dan 6 rangkaian KRL seri 205 rangkaian 12 kereta dari Jalur Nambu.
Penyusunan ulang ini mengubah susunan rangkaian menjadi 11 rangkaian dengan susunan 10 kereta per rangkaian dan 16 rangkaian dengan susunan 12 kereta per rangkaian. Perusahaan langsung memiliki 28 rangkaian 10 kereta dan 16 rangkaian 12 kereta lewat penyusunan ulang ini. Namun, jumlah unit KRL seri 205, walau masih yang terbanyak namun sudah berkurang 12 unit dari 476 unit menjadi 464 unit akibat 12 unit di antaranya tak dapat dioperasikan karena kecelakaan.
Penyusunan Ulang KRL Lain Untuk Ruas Operasional Baru
Penyusunan ulang rangkaian KRL seri 205 mengilhami penyusunan ulang rangkaian KRL modular lainnya, yaitu KRL seri 203, 1000, 5000, 8000, dan 8500. 1 rangkaian KRL seri 203 menjadi rangkaian 12 kereta di tahun 2017, disusul dengan 1 rangkaian KRL seri 8000 dan 1 rangkaian KRL seri 8500 di tahun yang sama, dan 2 rangkaian KRL seri 8500 di tahun 2019. Sementara 2 rangkaian KRL seri 203, 1 rangkaian KRL seri 1000, dan 1 rangkaian KRL seri 5000 menjadi rangkaian 10 kereta di tahun 2017.
Penyusunan ulang rangkaian KRL modular di tahun 2017 sendiri dilakukan untuk menutupi kebutuhan operasional rangkaian 10 kereta khususnya di Lin Bogor, yang sangat berkurang akibat pembukaan elektrifikasi Maja-Rangkasbitung di tahun yang sama. Pembukaan elektrifikasi Maja-Rangkasbitung membutuhkan penambahan jumlah rangkaian KRL 10 kereta yang beroperasi di lintas tersebut, sementara panjang peron dan emplasemen di beberapa stasiun belum dapat memuat rangkaian 12 kereta. Hal ini sempat mengakibatkan banyaknya rangkaian 8 kereta yang beroperasi di Lin Bogor.
Selain pembukaan elektrifikasi Maja-Rangkasbitung, elektrifikasi juga dibuka antara Bekasi-Cikarang. Elektrifikasi menuju Cikarang langsung disiapkan untuk rangkaian 12 kereta, di mana beberapa stasiun baru yang dibangun antara Bekasi-Cikarang bersamaan dengan elektrifikasi dan pembangunan jalur dwiganda Manggarai-Bekasi juga didesain khusus untuk layanan KRL Commuter Line.
Masuk Kembalinya Teknologi VVVF Jepang

KRL seri 6000 Metro propulsi VVVF. Rangkaian ini adalah rangkaian purwarupa yang seharusnya menjadi heritage Tokyo Metro, namun malah dijual ke Indonesia. (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
KRL seri 6000 kembali didatangkan dari Tokyo Metro pada tahun 2016-2018, dengan jumlah total 16 rangkaian. Sebagaimana KRL seri 205, KRL seri 6000 ini juga langsung dioperasikan dengan susunan aslinya yaitu 10 kereta per rangkaian. Bedanya, ke-16 rangkaian ini sudah menggunakan teknologi VVVF karena telah diretrofit oleh Tokyo Metro antara pertengahan 1990an hingga pertengahan 2000an.

KRL seri 6000 Metro propulsi VVVF buatan 1984 dengan retrofit yang lebih menyeluruh (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
Dari ke-16 rangkaian ini, 6 rangkaian di antaranya adalah rangkaian buatan 1981 dan 1984 yang menjalani retrofit di pertengahan 2000an, di mana menu retrofit yang dilakukan lebih menyeluruh dengan perombakan pada interior serta penggantian pintu penumpang. Kenyamanan pada ke-6 rangkaian ini berbeda dengan 10 rangkaian KRL seri 6000 VVVF lainnya, maupun rangkaian KRL seri 6000 yang didatangkan pada 2011-2013.
Kemudian di tahun 2018, terjadi “bedol desa” KRL seri 205 dari Jalur Musashino ke Indonesia. Istilah “bedol desa” muncul karena keseluruhan 42 rangkaian KRL seri 205 dengan susunan 8 kereta per rangkaian yang beroperasi di Jalur Musashino dibeli oleh perusahaan, yang saat itu baru berganti nama menjadi Kereta Commuter Indonesia untuk mempersiapkan wilayah operasional yang lebih luas.
Sebagaimana KRL seri 6000 kedatangan 2016-2018, KRL seri 205 ini 36 rangkaian di antaranya sudah menggunakan teknologi VVVF. 10 kereta berkabin di antaranya juga memiliki desain berbeda yang dikenal dengan sebutan “Märchen”. Awalnya KRL ini dioperasikan dengan susunan rangkaian aslinya, menutupi kebutuhan pensiun beberapa rangkaian KRL seri 6000 kedatangan 2011-2013, 05, dan 8500. Mulai tahun 2019, sebagian besar KRL ini disusun ulang menjadi 10 dan 12 kereta per rangkaian.
KRL seri 205, dengan jumlah 812 unit yang didatangkan, dan 798 unit aktif per 6 April 2025, menjadi KRL dengan jumlah terbanyak di Indonesia, tulang punggung utama layanan KRL Commuter Line, dan standar layanan perusahaan, yang di tahun 2020 beroperasi dengan nama KAI Commuter.
Layanan Kereta Ekspres Bandara
Tahun 2016, guna menunjang perhelatan Asian Games 2018, jalur kereta antara Stasiun Batuceper menuju Bandara Soekarno-Hatta dibangun. Jalur ini menjadi jalur kereta ekspres bandara kedua di Indonesia setelah Kualanamu, di mana armada KRL yang digunakan adalah KRL seri EA203 buatan INKA.
KRL seri EA203 ini adalah KRL dengan spesifikasi suburban pertama setelah berpuluh-puluh tahun. Awalnya, KRL-KRL yang didatangkan Pemerintah Indonesia sejak 1976 hingga sebelum kedatangan KRL seri 6000 hibah Pemerintah Kota Tokyo juga berspesifikasi suburban dengan kursi yang berhadapan. Bedanya, KRL seri EA203 ini merupakan kereta eksekutif berpenggerak listrik.
Hantaman Pandemi dan Perluasan Layanan Kereta Listrik
Di tahun 2020, dunia dilanda pandemi COVID-19 yang sempat mengganggu kegiatan perekonomian dunia hingga tahun 2023. Walau demikian, Pemerintah Indonesia justru membangun ruas elektrifikasi baru antara Yogyakarta-Solo. Ruas ini sudah diusulkan untuk ditingkatkan dengan elektrifikasi setidaknya sejak 1 dekade sebelumnya. Namun, pembangunan tak kunjung dilakukan walau tiang-tiang listrik aliran atas telah dikirimkan ke tempat pengendapan di Stasiun Solo Jebres sejak setidaknya 2016.
Pembangunan akhirnya dilakukan dengan pemancangan tiang listrik aliran atas pertama di Stasiun Klaten pada awal pandemi COVID-19 pada bulan Februari 2020. Pembangunan diuntungkan dengan penghentian sebagian besar operasional kereta api, sehingga jelang akhir 2020 jaringan elektrifikasi antara Yogyakarta dan Solo Balapan telah selesai dibangun dengan sangat cepat.

KRL seri 205 pernah beroperasi di Lin Yogyakarta. Akankah KRL ini kembali ke lintas tersebut di masa depan? (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
KRL seri i9000 yang banyak mengalami gangguan dan sebagian besar tidak dioperasikan di Jakarta pun satu per satu dikembalikan ke INKA untuk perbaikan dan pembenahan sistem. KRL ini kemudian dijadikan armada KRL utama untuk Lin Yogyakarta, beserta 2 rangkaian KRL seri 205 dari Jalur Musashino yang telah dijadikan rangkaian 4 kereta. KRL seri 205 kemudian menjadi KRL eks Jepang pertama yang beroperasi di luar wilayah Jabodetabek.
Layanan KRL Commuter Line di Yogyakarta akhirnya beroperasi pada 10 Februari 2021, masih di tengah-tengah pandemi. Awalnya beroperasi dengan 4 kereta per rangkaian, karena animo besar akhirnya baik KRL seri 205 maupun KRL seri i9000 digandeng menjadi rangkaian 8 kereta. Elektrifikasi segera dilanjutkan ke Stasiun Palur, yang mulai beroperasi pada 17 Agustus 2022 jelang akhir pandemi.
Akhir Era KRL Eks Jepang?
Penambahan wilayah operasional, perlambatan ekonomi selama pandemi, dan mulai habisnya masa pakai beberapa KRL eks Jepang kedatangan 2005-2013 tak dapat dipungkiri bahwa harus segera ada peremajaan KRL lagi. Walaupun di tahun 2019 perusahaan sudah akan membeli KRL buatan INKA, pandemi yang terjadi membuat pembelian harus ditunda hingga perekonomian kembali membaik ketika pandemi sudah selesai.
Di tahun 2023, ramai pemberitaan bahwa perusahaan akan mendatangkan 29 rangkaian KRL seri E217 dari Jepang dan 16 rangkaian KRL dari INKA. Namun, impor KRL seri E217 ditolak Pemerintah Indonesia yang sejak pandemi memprioritaskan produksi dalam negeri melalui Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri dengan melakukan substitusi impor untuk pemulihan dan penguatan ekonomi pascapandemi.
Akhirnya, pemesanan KRL disepakati dilakukan ke INKA sebanyak 24 unit rangkaian KRL yang akan bergulir sebanyak 16 rangkaian mulai 2025-2026, dan 8 rangkaian sisanya pada 2027. Sementara itu, sebagian dari rangkaian KRL yang awalnya akan dipensiunkan, diputuskan untuk diretrofit di INKA sebanyak 19 rangkaian KRL. Sayangnya, rangkaian KRL yang sudah terlanjur pensiun, dipensiunkan tanpa adanya pengganti sehingga menyebabkan kekurangan sarana KRL yang terpaksa ditutupi dengan mengubah setiap 2 rangkaian KRL 12 kereta menjadi 3 rangkaian KRL 8 kereta.
Sedangkan pengadaan lain untuk KRL eks Jepang belum dapat terlihat lagi untuk masa depan yang dekat, dan mungkin bisa jadi sudah berakhir. Konsensus di berbagai kalangan menyebut bahwa sebenarnya lebih baik untuk mendatangkan KRL baru yang memiliki masa operasional lebih panjang dengan dukungan suku cadang lebih baik. Sementara KRL bukan baru umumnya memiliki masa operasional yang lebih pendek terutama jika berbicara soal kemampuan rangka KRL yang sudah mengalami asam garam sejak tahun pembuatannya.
Walaupun demikian, dukungan suku cadang KRL bukan baru dapat tetap terjaga jika ada komponen yang dapat disubstitusi. Saat ini saja misalnya, unit pendingin udara yang digunakan pada beberapa KRL seri 205 telah menggunakan mesin-mesin baru baik buatan lokal maupun impor dari negara di luar Jepang. Pun begitu pantograf pada KRL seri 205 dan 6000 juga banyak yang telah diganti dengan barang baru. Propulsi KRL pun dapat diganti melalui retrofit, baik retrofit besar maupun retrofit kecil. Beberapa KRL seri 6000 yang saat ini tak beroperasi ternyata sedang menunggu peremajaan sistem yang akan meliputi penggantian propulsi.
KRL Cina, dengan Sedikit Citarasa Jepang
Sebagai stopgap untuk mengatasi kebutuhan operasional KRL, sebanyak 3 rangkaian KRL baru 12 kereta awalnya akan diimpor dari Jepang. Negara asal impor KRL ini kemudian berubah menjadi Cina, dengan KRL akan dibuat oleh CRRC Qingdao Sifang. CRRC Group sendiri memiliki kebijakan bahwa CRRC Qingdao Sifang adalah satu-satunya entitas CRRC yang diperbolehkan menjual keretanya di Indonesia.
KRL ini memiliki kodefikasi pabrik seri SFM138, kodefikasi sesuai kontrak seri SFC120-V, dan kodefikasi KAI Commuter seri CLI-125. Rangkaian pertamanya memiliki nomor sarana CLI-125.1001 sampai CLI-125.1012, rangkaian keduanya memiliki nomor sarana CLI-125.2001 sampai CLI-125.2012, sehingga angka pertama setelah titik menentukan nomor rangkaian KRL. Sistem kodefikasi sarana KRL baru KAI Commuter terinspirasi dari kodefikasi lokal yang pernah ada, maupun kodefikasi Jepang.
Walaupun KRL seri CLI-125 ini buatan Cina, namun ada ternyata tetap memiliki beberapa citarasa Jepang di dalamnya. Salah satunya pada mekanisme pantograf yang menggunakan pegas untuk menaik-turunkan pantograf yang lazim digunakan di Jepang. Pantografnya sendiri kabarnya dibuat oleh Chengdu Yonggui Toyo Rolling Stock Equipment, perusahaan joint venture antara Yonggui Cina dan Toyo Denki Jepang, walaupun propulsinya diproduksi oleh CRRC sendiri.

Pantograf yang kabarnya buatan Chengdu Yonggui Toyo Rolling Stock Equipment, joint venture antara Yonggui Cina dan Toyo Denki Jepang (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
Cina sendiri memang belajar membuat kereta salah satunya ke Jepang, bahkan CRRC Dalian sendiri “diasuh” membuat kereta oleh Jepang pada masa Perang Dunia Kedua. Pada saat awal Cina mengoperasikan kereta cepat pun banyak perusahaan Jepang seperti Mitsubishi, Toshiba, dan Toyo Denki membuka perwakilan atau joint venture di Cina. Bahkan propulsi VVVF buatan CRRC pun banyak yang berbasis VVVF buatan Toshiba dan Mitsubishi.
Meski demikian, dimensi KRL ini ternyata lebih pendek dari KRL Jepang, dengan kereta tengahnya hanya sepanjang 19,6 meter pada ujung-ujung alat perangkai, walaupun kereta berkabinnya lebih panjang 46 sentimeter dari KRL Jepang. Sehingga panjang rangkaian KRL seri CLI-125 lebih pendek sekitar 3 meter dari KRL seri 205 rangkaian 12 kereta. Interior KRL ini juga lebih mendekati standar Cina dengan beberapa panel berukuran besar dan mengurangi ruang untuk penumpang dibanding KRL Jepang yang ukuran panelnya lebih kompak.
Pemesanan KRL seri CLI-125 sendiri ditambah 8 rangkaian menjadi 11 rangkaian setelah INKA melaporkan pada pemerintah bahwa mereka tak bisa meretrofit sebanyak 17 rangkaian KRL lawas karena alasan teknis. Sehingga anggaran untuk retrofit 17 rangkaian KRL lawas dialihkan untuk 8 rangkaian KRL seri CLI-125, serta retrofit hanya dilakukan pada 24 unit KRL seri 05 yang akan dijadikan 2 rangkaian 12 kereta. Total pengadaan KRL berubah dari rencana awal 45 rangkaian jika diizinkan membeli KRL eks Jepang di samping membeli KRL INKA, menjadi hanya 35 rangkaian ditambah 2 rangkaian hasil retrofit.
KRL INKA Menampakkan Diri
Wujud KRL buatan INKA mulai terkuak jelang akhir 2024 setelah dipamerkan oleh KAI Commuter lewat akun Instagram @lifeatkaicommuter. KRL yang awalnya berkelir batik gigi balang khas Betawi ini desainnya sebagaimana KRL komuter modern yang saat ini beroperasi di Jepang. Sebagian membandingkan bentuk kabinnya dengan KRL seri 209 milik East Japan Railway Company, walaupun menggunakan motif piksel yang mirip dengan KRL seri E235 milik perusahaan yang sama.
KRL ini juga banyak menggunakan komponen Jepang di dalamnya. Pantograf dan propulsi VVVFnya dibuat oleh Toyo Denki, dan mesin pintunya dibuat oleh Nabtesco. Desain interiornya juga terinspirasi dari KRL seri E235, bahkan pegangan tangannya pun mirip dan juga berwarna hijau. Bogie KRL ini pun berbasis bogie yang digunakan pada KRL seri E233 dan E235.
KRL yang kemudian diberi nomor seri CLI-225 ini baru saja menjalani uji coba di Lin Yogyakarta. Sebelum uji coba, motif batik gigi balang diganti dengan livery yang mirip dengan KRL seri CLI-125. Rangkaian pertama KRL ini, CLI-225.1001, akurat saat tulisan ini terbit, disimpan di Depo KRL Solo Jebres menunggu waktu dikirim ke Depo KRL Depok.
Kereta Listrik di Luar Ekosistem Commuter Line
Selain KRL Commuter Line, yang cikal bakalnya beroperasi sejak 6 April 1925 lalu, terdapat beberapa jenis kereta listrik di luar ekosistem KRL Commuter Line. Dari rel berat, ada kereta cepat Jakarta-Bandung yang menjadi kereta listrik kecepatan tinggi pertama di Indonesia dan Asia Tenggara yang mulai beroperasi 2023 lalu, serta MRT Jakarta yang menjadi kereta bawah tanah pertama di Indonesia yang mulai beroperasi 2018 lalu setelah dijajaki kelayakannya sejak tahun 1960an.
Sementara dari rel ringan, ada LRT Palembang, LRT Jakarta dan LRT Jabodebek yang menggunakan jaringan listrik aliran bawah 750 volt DC. Ada pula lokomotif listrik yang beroperasi di tambang milik Freeport di Papua. Seluruh moda kereta listrik tersebut juga telah mewarnai sejarah operasional kereta listrik di Indonesia, walaupun tanggal 6 April akan selalu melekat dengan operasional kereta listrik di jalur milik pemerintah yang kini dioperasikan di bawah bendera Grup KAI.
Penutup

Lokomotif listrik seri 3200 nomor 3202, yang sejak 2006 dinomori ulang 3201, salah satu peninggalan dari tahun 1925 yang masih bisa disaksikan hingga kini (Muhammad Pascal Fajrin/IRPS Jakarta)
Jika pengoperasian kereta listrik pada 6 April 1925 tak pernah dilakukan, mungkin hingga saat ini Indonesia tidak mengenal kereta listrik sama sekali. Namun, untungnya sejarah menorehkan hal yang baik. Bahkan, kereta listrik peninggalan tahun 1925 masih terselamatkan 3 unit sampai hari ini, dengan 1 lokomotif listrik masih bisa beroperasi, dan 2 KRL menunggu kepedulian untuk direstorasi oleh pemiliknya.
100 tahun berselang, kereta listrik semakin digemari. Kereta listrik menjadi tulang punggung utama mobilitas masyarakat, baik di Jakarta maupun di Yogyakarta. Kereta listrik juga terus berkembang semakin canggih, semakin nyaman, dan semakin dapat diandalkan. Sejak 6 April 1925 itulah kereta listrik menjadi sistem transportasi yang modern dan bersih dari dulu, kini, dan nanti.
Salam preservasi 🤜🏻🤛🏻