Keberhasilan pembangunan jalur KA yang melewati pegunungan dengan medan berat di wilayah Priangan merupakan salah satu tonggak pencapaian Staatsspoorwegen dalam sejarah berdirinya perusahaan tersebut di Hindia Belanda. Namun, dari keberhasilan pembangunan ini muncul sebuah masalah: lokomotif uap jenis apa yang cocok untuk beroperasi di jalur Priangan? Salah satu produk dari pencarian Staatsspoorwegen akan lokomotif yang cocok beroperasi di jalur Priangan adalah lokomotif uap CC50, yang berjuluk “De Bergkoningin” atau “Sri Gunung”.
Pembangunan Jalur KA oleh Staatsspoorwegen Lebih Banyak di Selatan Jawa
Pembangunan jalur KA di wilayah Priangan tidak lepas dari usaha Staatsspoorwegen menciptakan konektivitas antara Jakarta dan Surabaya. Staatsspoorwegen sendiri pertama kali membangun jalur KA dari sisi timur Pulau Jawa, dengan dibukanya jalur KA Surabaya-Pasuruan pada 16 Mei 1878. Pembangunan kemudian berlanjut ke ujung timur Pulau Jawa di Banyuwangi dan ke arah barat menuju Jakarta, utamanya melewati bagian selatan Pulau Jawa.
Staatssporwegen juga membangun jalur KA dari sisi barat dan tengah Pulau Jawa setelah memulai pembangunan di sisi timur Pulau Jawa. Dari sisi barat, Staatsspoorwegen membangun jalur KA Bogor-Kasugihan mulai 1879 hingga 1894. Jalur ini menyambung jalur KA Cilacap-Yogyakarta yang dibuka pada 20 Juli 1887.
Staatsspoorwegen kemudian menyambung Yogyakarta dengan Surakarta paralel dengan jalur milik Nederlandse Indische Spoorweg yang sudah ada terlebih dahulu. Sebelumnya, Staatsspoorwegen telah menyambung Surakarta dengan Surabaya sejak 1884. Tersambungnya Yogyakarta dan Surakarta ini menciptakan konektivitas Jakarta-Surabaya tanpa transit berganti kereta. Staatsspoorwegen juga kemudian mengakuisisi kepemilikan jalur KA Jakarta-Karawang pada tahun 1898 dan Jakarta-Bogor pada tahun 1913.
Pemilihan rute melewati bagian selatan Pulau Jawa ini mungkin memiliki beberapa faktor yang berpengaruh. Faktor pertama, karena sudah terlebih dahulu ada jalur KA lain di bagian utara Pulau Jawa yang dibangun oleh Samarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij, Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij, dan Nederlandse Indische Spoorweg Maatschappij. Faktor kedua, kota-kota besar lebih banyak berada di bagian selatan Pulau Jawa, sebut saja Bandung, Yogyakarta, dan Surakarta.
Medan Penuh Pegunungan
Namun, medan di bagian selatan Pulau Jawa ini lebih menantang karena keberadaan daerah pegunungan bertanah subur yang dikelilingi oleh gunung-gunung api di bagian tengah dan selatan pulau. Jalur Bogor-Kasugihan misalnya, pada segmen Bogor-Cianjur melalui kompleks gunung api Salak-Halimun dan Gede-Pangrango.
Tak hanya itu, pada segmen Padalarang-Cicalengka jalur ini bahkan berada pada kaldera Gunung Sunda Purba, sebuah supervolcano yang telah runtuh menjadi beberapa gunung yang lebih kecil, dan pernah terdapat danau pada kalderanya yang telah surut. Jalur KA Surakarta-Surabaya sendiri dibangun mengarah ke tengah pulau untuk menghindari Gunung Lawu dan Gunung Liman.
Usaha Staatsspoorwegen mempersingkat waktu tempuh Jakarta-Surabaya sebanyak dua kali pun masih harus melalui jalur pegunungan. Pembangunan jalur KA Karawang-Bandung yang selesai tahun 1906 harus melalui lereng Gunung Sunda Purba dari Purwakarta ke Padalarang, sehingga jalur KA masih cukup berkelak-kelok dan melewati ratusan jembatan serta satu terowongan.
Kemudian pembangunan jalur KA Cikampek-Kroya yang selesai tahun 1917, walaupun tidak terlalu terganggu keberadaan Gunung Ciremai, namun jalur KA harus melewati perbukitan di pinggir Gunung Slamet. Meski demikian, medan jalur ini tak seberat di Jawa bagian barat dengan titik tertinggi jalur ini hanya 329 meter di atas permukaan laut di Stasiun Patuguran.
Kebutuhan Lokomotif Khusus Pegunungan
Keberadaan jalur pegunungan ini mengharuskan Staatsspoorwegen memiliki lokomotif yang kuat dan lincah beroperasi di jalur dengan medan naik-turun dan berkelak-kelok. Pencarian Staatsspoorwegen ini cukup panjang dan telah menghasilkan beberapa tipe lokomotif.
Di antara beberapa lokomotif yang pernah beroperasi di jalur pegunungan adalah SS 300 (DKA C11), SS 800 (DKA F10), SS 900 (DKA D50), dan SS 1400 (DKA D14). Selain itu, Staatsspoorwegen juga mendatangkan lokomotif artikulasi “Mallet” yang dapat melalui radius tikungan lebih kecil, yaitu SS 500 (DKA BB10) pada 1899-1907 dan SS 520 (DKA CC10) pada 1904-1910.
Keberadaan lokomotif-lokomotif tersebut dirasa belum efisien, dan bahkan untuk SS 900 sendiri terkendala kurang fleksibelnya gandar lokomotif untuk melibas tikungan tajam karena susunan gandar uniknya yaitu 2-12-2T. Staatsspoorwegen mencoba kembali pada 1916 dengan mendatangkan 8 unit lokomotif SS 1200 (DKA DD50) berukuran besar dari Amerika Serikat, yang ternyata juga masih memiliki masalah teknis sehingga harus pensiun dini.
Di tahun 1919, Staatsspoorwegen mendatangkan kembali 12 unit lokomotif SS 1200 (DKA DD51) yang merupakan penyempurnaan dari 8 unit lokomotif sebelumnya. Dan di tahun 1923, 10 unit lokomotif SS 1250 (DKA DD52) didatangkan dari Eropa di mana lokomotif ini bisa berlari lebih cepat 10 km/jam dari pendahulu Amerikanya. Namun, lokomotif ini masih terlalu pelan untuk KA ekspres Jakarta-Surabaya yang dioperasikan oleh Staatsspoorwegen dan juga boros bahan bakar.
Lokomotif CC50 Lahir
Akhirnya pada tahun 1927 perusahaan kembali mendatangkan lokomotif besar namun dengan ukuran yang lebih kecil dan mampu berlari lebih cepat lagi dari SS 1200 dan SS 1250. Itulah lokomotif SS 1600 (DKA CC50), yang didatangkan sebanyak 30 unit dari Schweizerische Lokomotif und Maschinenfabriek (SLM) sebanyak 16 unit dan Nederlandsche Fabriek van Werktuigen en Spoorwegmaterieel (Werkspoor) sebanyak 14 unit.
Lokomotif ini memiliki susunan gandar yang serupa dengan lokomotif CC10, yaitu 2-6-6-0 dibanding dengan DD50, DD51, dan DD52 dengan susunan gandar 2-8-8-0. Yang membedakan lokomotif ini dengan lokomotif CC10 adalah keberadaan gerbong tender untuk mengangkut air dan bahan bakar lokomotif. Lokomotif ini memiliki keluaran tenaga 1200 tenaga kuda dengan kecepatan maksimum 55 km/jam. Lokomotif ini dirancang oleh Kantor Teknis Departemen Koloni bekerja sama dengan SLM, dan dianggap sebagai puncak pencapaian setengah abad riset dan pengembangan traksi Staatsspoorwegen.
Menurut data dari Searail Malayan Railways, SS 1609 (CC5009) adalah lokomotif tertua dalam kelas ini. Lokomotif ini merupakan buatan SLM tahun 1927 dengan nomor seri 3211. Namun, karena alasan tertentu nomor SS 1601 (CC5001) justru diberikan pada lokomotif nomor seri 558 buatan Werkspoor tahun 1928.
Ke-30 lokomotif ini awalnya aktif di wilayah Priangan dan menghela KA-KA penumpang maupun KA barang dari Purwakarta ke Banjar beserta cabang ke Cikajang bersama dengan lokomotif CC10, DD51, dan DD52. Perubahan tata penomoran dari SS 1600 menjadi CC50 terjadi saat era pendudukan Jepang 1942-1945.
Dari Priangan lalu Tersebar di Seluruh Jawa
Menurut buku PNKA Power Parade karya AE Durrant, pada tahun 1969-1971 lokomotif CC50 tersebar di Depo Purwakarta 4 unit, Cibatu 2 unit, Banjar 1 unit, Purwokerto 10 unit, Ambarawa 3 unit, Madiun 2 unit, dan Sidotopo 3 unit. Awal mula penyebaran lokomotif ini di luar wilayah Priangan adalah karena pengalokasian lokomotif D14 untuk menghela KA penumpang di Priangan Barat, sehingga lokomotif CC50 mulai dapat ditemui menghela KA barang di seantero Pulau Jawa.
Lokomotif ini bersama lokomotif C30 adalah lokomotif uap terakhir yang dipesan oleh Staatsspoorwegen sebelum resesi melanda di tahun 1930. Kiprah lokomotif ini cukup panjang, dan bahkan pernah menjadi bintang film. CC5019 milik Depo Purwakarta menjadi bintang film “Kereta Api Terakhir” pada tahun 1981.
Di akhir kiprahnya, lokomotif ini lebih banyak menghela KA-KA jarak pendek dengan rangkaian yang juga pendek. Di tahun 1991, beberapa dari lokomotif ini masih bisa terlihat di Depo Cibatu dalam keadaan yang sudah tidak lengkap, dan hanya menunggu dibesituakan.
Preservasi Lokomotif CC50 di Museum
Lokomotif CC50 juga merupakan satu-satunya kelas lokomotif uap besar yang masih tersisa dan menjadi benda koleksi yang tersebar di tiga museum, dua di Indonesia dan satu di Belanda. Lokomotif pertama yaitu CC5001 (SS 1601, Werkspoor 558, 1928) eks Depo Cibatu, menjadi koleksi Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Namun tender lokomotif ini berasal dari CC5019.
Lokomotif CC5022 (SS 1622, Werkspoor 573, 1928) eks Depo Purwokerto menjadi koleksi Het Spoorwegmuseum Utrecht sejak 1981. Lokomotif ini merupakan hadiah dari Pemerintah Indonesia untuk Kerajaan Belanda. Lokomotif CC5029 (SS 1629, SLM 3253, 1928) eks Depo Ambarawa menjadi koleksi Museum Kereta Api Ambarawa, Jawa Tengah. Selain itu, terdapat pula potongan kepala lokomotif CC5030 di depan Depo Cibatu.
Di tahun 2022, Bupati Garut pernah meminta agar satu lokomotif CC50 “dipulangkan” ke Garut pada saat peresmian reaktivasi jalur KA Cibatu-Garut. Saat itu, Bupati Garut menyampaikan permintaannya di depan Menteri Perhubungan dan Direktur Utama KAI. Alasan permintaan ini adalah karena lokomotif tersebutlah yang terdapat pada ingatan warga Garut saat jalur ini beroperasi hingga ditutup sementara pada 1982.
Lokomotif CC5001 sendiri saat ini sedang menjalani proses beautifikasi oleh IRPS. Proses beautifikasi ini sendiri dimulai pada 8 Juli 2024 lalu, dan rencananya akan selesai pada Agustus 2024 mendatang.
Salam preservasi 🤜🏻🤛🏻