0819-0808-0450 humas@irps.or.id

JAKARTA yang sudah berkembang sejak masa kolonialisme Belanda, dibangun bak kota-kota di Eropa. Tidak hanya bangunannya, tapi juga moda transportasinya.

Seperti halnya kereta api, di Jakarta yang dulu bernama Batavia, juga turut diramaikan moda transportasi trem, lho. Pertama kali eksis juga hampir sama dengan kali pertama adanya kereta api, yakni pada tahun 1896.

Sekadar informasi, meski modelnya sama, yakni angkutan berbasis rel, operator kereta api dan trem itu berbeda.

Moda kereta api sempat dipegang dua maskapai kereta swasta Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) dan Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (BOS), tapi kemudian diambil alih maskapai kereta pemerintah Hindia Belanda, Staatsspoorwegen (SS).

Sementara angkutan trem dioperasikan langsung oleh Pemerintah Kota Batavia. Jalur pertama trem yang dibuat adalah jalur dengan rute Pasar Ikan (Penjaringan, Jakarta Utara) sampai Kampung Melayu.

“Transportasi ini bedanya selain bentuk, tapi juga relnya. Kereta di Batavia lebar relnya 1.067 milimeter (mm), sedangkan jalur trem lebih lebar, yakni 1.188 mm,” ungkap pemerhati sejarah kereta yang juga eks pegawai kontrak PT KAI Divisi Heritage Adhitya Hatmawan kepada Okezone.

“Dulu trem bukan punyanya SS, tapi Pemerintah Kota Batavia. Pertama kali ada sekitar tahun 1869, sama dengan kereta. Tapi awalnya trem di Batavia ditarik dengan kuda, makanya disebutnya dulu Trem Kuda. Baru pada 1899 ada trem uap, di mana stasiun pengisian uapnya ada di daerah Kramat, Pasar Senen,” imbuhnya.

Di sisi lain, transportasi trem sedianya tidak hanya ada di Batavia. Tapi juga sempat ada di kota-kota besar lain seperti Surabaya, Semarang, bahkan Bandung.

“Ramainya trem memang di Jakarta. Selain itu di Surabaya dan Semarang. Riset terakhir, saya dapat foto trem yang juga ternyata ada di Bandung. Sedikit berbeda karena rodanya karet, bukan besi dan bentuk tremnya mirip odong-odong. Enggak pakai rel dan bisa jalan di aspal,” lanjut Adhit.

Adapun di Jakarta, rute trem pun berkembang ke berbagai wilayah. Namun sisa-sisanya bisa dibilang hampir tidak ada sama sekali.

Kalaupun ada, hanya tersisa beberapa meter yang dilestarikan di kawasan Kota Tua Jakarta dengan ditutupi kaca fiber. “Ya tinggal itu (di Kota Tua) sisa jalur tremnya. Karena sejak 1964, udah enggak boleh ada trem di Jakarta,” sambungnya lagi.

“Memang jalur-jalur trem itu enggak dibongkar. Hanya saja kemudian ditutupi dengan adanya pembangunan jalan. Seperti yang ada di Jalan Gadjah Mada dari Harmoni sampai Kota. Itu yang di bawah busway atau jalur TransJakarta, dulunya jalur trem,” tandasnya.

Oh iya sebelum lupa dan menutup pembahasan, dulu kalau kita mau naik trem beli tiketnya bukan di sebuah bangunan stasiun, melainkan sebuah bangunan semi-permanen kayak kios rokok gitu, lho.

Sementara pasca-Indonesia merdeka, bayar trem sudah seperti di bus kota, yakni bayar di atas trem kendati banyak yang enggak mau bayar.

Sumber:
http://news.okezone.com/read/2016/12/30/338/1579746/news-story-sejarah-mengapa-jakarta-pernah-punya-transportasi-trem