Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the ihc domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/irpsrid1/domains/irps.or.id/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Dibangun 1900-an, Pengganti Jalur Bengawan – IRPS
0819-0808-0450 humas@irps.or.id

Bojonegoro adalah kota kecil. Tapi dari Bojonegorolah kayu jati dan tembakau terbaik diangkut ke luar negeri oleh Belanda. Bagaimana Belanda membangun transportasi pada zaman kolonialisme di Bojonegoro? Anda yang saat ini berusia 35 tahun ke atas pasti pernah merasakan naik kereta api atau melihat kereta api uap. Di Bojonegoro, kereta api uap masih ditemui untuk jalur pendek. Seperti Bojonegoro-Jatirogo. Relnya kini sudah tertutup. Mulai rel bengkong hingga Jatirogo. 

Membayangkan, naik kereta api uap diantara hutan jati yang rimbun pasti sebuah kenangan yang indah. 

Kini, tak ada lagi kereta api yang melintasi hutan jati. Jalur kereta api, kini beririsan dengan jalur kendaraan roda empat. Hanya melintasi persawahan.

Lalu kapan jalur kereta api di Bojonegoro mulai dibangun? Dalam penelusuran sejarah kereta api di Bojonegoro, Jawa Pos Radar Bojonegoro agak kesulitan mencari sumber yang mengungkapkannya. Sumber yang masih hidup dan  dapat diwawancarai adalah  Gantjar, 85. 

Gantjar adalah pensiunan dari perusahaan kereta api. Dia pernah bertugas di Stasiun Bojonegoro sekitar 1956. Persis setelah enam tahun bangsa ini merdeka. Untuk bertemu Gantjar, Jawa Pos Radar Bojonegoro harus ke Kelurahan Balun Kecamatan Cepu, Blora. Sebab, pria ini sekarang tengah menikmati masa pensiunannya bersama istri tercintanya di sana. 

Dia memulai tugasnya di Stasiun Tobo Kecamatan Purwosari lantas pindah ke Bojonegoro. Di sana dia cukup lama lantas berpindah-pindah, hingga pernah bertugas di Stasiun Cepu.  ”Stasiun di Bojonegoro dan Cepu itu dibangun saat zaman Belanda,” katanya. 

Namun, dia tidak begitu mengingat tahun berapa stasiun itu dibuat. Dia memastikan stasiun beserta jalur keretanya itu dibuat setelah stasiun di Semarang sudah berdiri. Perusahaan yang membangun juga sama yakni sebuah perusahaan swasta Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). 

Pendapat Gantjar dikuatkan Roesdi, dalam buku Kereta Api dari Masa ke Masa. Roesdi menjelaskan sejarah perkeretaapian di Indonesia itu dibangun pertama pada 17 Juni 1864 di Desa Kemijen Semarang.

Usulan untuk membuat jaringan kereta api itu oleh Colonel Jhn. Van Der Wijk dan mendapat dukungan dari J. Trom, seorang insinyur kepala bagian pengairan dan bangunan. NISM sebuah perusahaan swasta membangun jalur kereta pada 1864.  Enam tahun kemudian kereta api yang pertama melaju. 

Sedangkan, berdirinya jalur Bojonegoro,  sejatinya tak lepas dari keberadaan Stasiun Cepu. 

Totok Purwo seorang pegawai PT Kereta Api sejak 1981 menuliskan, kehadiran Stasiun Bojonegoro itu dimulai sejak munculnya proyek pembangunan jalur Gundih-Surabaya. Stasiun Gundih itu berada di Grobogan (Jawa Tengah). Lalu di Surabaya adalah Stasiun Pasar Turi. 

Totok menceritakan,  NISM sebagai perusahaan swasta mendapat tugas dari pemerintah Hindia Belanda membangun jalan rel dari Gundih ke Surabaya untuk angkut¬an hasil bumi dan bahan pakaian serta barang impor untuk daerah pedalaman yang masuk melalui pelabuhan Surabaya. 

Sebab, pada zaman itu transportasi masih menggunakan perahu dari Surabaya melalui Bengawan Solo. Yakni, di Padangan Bojonegoro. Di Padangan,  menjadi pusat perdagangan di tepi Benga¬wan Solo yang berbatasan dengan Cepu.

Mendapat perintah itu, kata Totok, NISM tidak berminat membangun jalan rel lintas Gundih-Surabaya. 

Namun pada September 1893 seorang pensiunan insi¬nyur kepala dari perusahaan kereta api pemerintah bernama JJ. Dijkstra mengajukan permohonan konsesi untuk memasang jalan trem dari Surabaya ke Padangan. 

”Permohonan tersebut dapat dikabulkan dengan syarat melanjutkan pembangunan jalan rel ke Gundih dan tersambung dengan jalan rel Semarang – Surakarta – Yog¬yakarta milik NISM,” kata Totok dalam ulasannya  yang diunggah Oktober 2010.  

Totok melanjutkan, ternyata NISM keberatan dengan syarat tersebut karena menurut ketentuan dalam konsesi untuk pembangunan jalan rel Semarang¬ – Surakarta – Yogyakarta disebutkan hanya NISM yang memiliki prioritas untuk membangun jalan rel yang bersambungan dengan jalan rel mi-liknya.

Selain Dijkstra, ada Palm mengajukan permohonan agar ada pembangunan jalur ke Surabaya. Tetapi, baik Dijkstra maupun Palm kemudian membatalkan niatnya karena tidak sanggup memenuhi syarat membangun jalan rel ke Gundih.

Alasannya, daerah antara Padangan dan Gundih masih be¬rupa rawa-rawa dan hutan belukar, tanah dasarnya lembek, dan penduduknya sangat sedikit.

”Kemudian NISM menyatakan sanggup melak¬sanakannya karena sudah menjadi besar berkat angkutan gula, tem¬bakau, kayu, dan lain-lain yang berlimpah dari wilayah Surakarta, Yogyakarta, dan Kedu ke pelabuhan Semarang. Selain itu,  ditemukan sumber minyak bumi di Cepu diharapkan menguntungkan bagi operasional kereta api Gundih – Surabaya Pasar Turi,” ulas Totok. 

Dalam sejarahnya memang benar. Sebab, 1890 di Cepu telah ditemukan sumur minyak oleh Bataafsche Petroleum Maatchappij (BPM) sebuah perusahaan minyak dari Belanda. 

Menurut Totok, dalam perjalanannya jalur rel Gundih–Surabaya Pasar Turi menggunakan lebar se¬pur 1067 mm. Selain itu, ada urutan tanggal peresmiannya. Pertama dimulai dari Gundih-Kradenan (Blora) sepanjang 37 kilometer (15 Oktober 1900). Dilanjutkan, Kradenan – Cepu sepanjang 52 kilometer (1 Maret 1902). Cepu – Bojonegoro sepanjang 36 kilometer (1 Februari 1901). 

“Bojonegoro – Babat 1 Maret 1902 sepanjang 36 kilometer dan Babat – Lamongan 15 Agustus 1900 sepanjang 28 kilometer. Lamongan – Surabaya Pasar Turi 1 April 1900 sepanjang 41 kilomter,” kata Totok. 

Sementara itu, Putu Dananjaya dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah Direktorat Jendral Kebudayaan Kemendikbud RI menuliskan, Stasiun Gundih yang ada sekarang adalah Stasiun Gundih kedua yang mulai digunakan pada 1900 bersamaan dengan dibukanya jalur Gundih-Kradenan oleh NISM. Pada 1903 jalur Gundih-Kradenan terhubung dengan Surabaya dengan lebar rel 1067 milimeter. 

Dalam situsbudaya.id disebutkan Stasiun Bojonegoro menjadi pertemuan kedua titik dalam proyek jalur Gundih-Surabaya. Sebab, pembangunan dibagi menjadi dua. Yakni dari arah barat dan timur. Dari barat yakni Gundih-Kradenan-Cepu-Bojonegoro. Dari timur Surabaya-Kandangan-Sumari-Lamongan-Bojonegoro. Proyek Gundih-Surabaya ini membutuhkan waktu tiga tahun. 

Dalam perkembangannya, Stasiun Bojonegoro juga menghubungkan ke berbagai stasiun lainnya. Di Bojonegoro saja ada beberapa stasiun. Jika diurut dari barat terdapat Stasiun Tobo, selanjutnya mirip halte yang berfungsi penurunan penumpang yakni Clangap. Kemudian, ada Stasiun Kalitidu hingga ke timur sampai Stasiun Bojonegoro. 

Dari Stasiun Bojonegoro ke timur menghubungkan Stasiun Kapas, Sumberrejo, Sroyo dan Stasiun Bowerno (Baureno, Red). Kemudian, berlanjut ke Stasiun Babat hingga Surabaya. 

Jika ditarik ke utara, Bojonegoro pun punya jalur ke Jatirogo Tuban bahkan hingga Semarang juga yang melintasi jalur utara termasuk Demak. 

Dalam berbagai literatur disebutkan, jalur Jatirogo yang  menghubungkan Lasem, Kudus, Demak, hingga Semarang itu dibangun oleh perusahaan belanda. Namun bukan NISM. Melainkan Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS). Jalur ini kebanyakan di jalur pantai utara. 

Bila dari Bojonegoro, kereta itu akan melintas ke Stasiun Sembung, Bangilan, hingga Jatirogo. Selanjutnya dari Jatirogo bisa menuju ke Pamotan lalu ke Lasem dan menuju Rembang. Dari Rembang bisa memilih dua jalur. Yakni jalur ke Juana atau ke Blora melintasi Mantingan.

(bj/ai/aam/zim/nas/bet/JPR)

Sumber:
http://sinergi.radarmalang.id/dibangun-1900-an-pengganti-jalur-bengawan-radar-bojonegoro/