Sabtu, 24 Februari 2024, IRPS bersama komunitas Ngopi Di Jakarta (Ngojak) mengadakan kegiatan walking tour bertajuk “Tanjung Priok: Dari Petilasan Sampai Pelabuhan”. Sekitar pukul 8:30 WIB, seluruh peserta berkumpul di hall Stasiun Tanjung Priok untuk briefing terlebih dahulu.
Dalam kesempatan tersebut, salah satu narasumber dari IRPS, Adhitya Hatmawan menjelaskan secara rinci mengenai sejarah lengkap pembangunan Stasiun Tanjung Priok dan awal mula pelabuhan.
Stasiun Tanjung Priok Lama
Pelabuhan Tanjung Priok merupakan pelabuhan modern pertama di Hindia Belanda. Pelabuhan Tanjung Priok pertama kali dibangun pada 1877 dan selesai pada 1886 oleh Pemerintah Hindia Belanda, di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Johan Wilhelm Van Lansberge.
Untuk mempermudah pengangkutan komoditas alam Hindia Belanda dengan kereta api, pemerintah sepakat untuk membangun jaringan kereta api di Sekitar Tanjung Priok. Stasiun Tanjung Priuk Lama selesai dibangun oleh Burgerlijke Openbare Werken pada 1883 dan baru pada tahun 1885 diresmikan pembukaannya bersamaan dengan pembukaan Pelabuhan Tanjung Priok.
Lokasi bekas stasiun Tanjung Priok pertama berada di Terminal 1 pelabuhan Tanjung Priok. Stasiun Tanjung Priok Lama memiliki desain bangunan yang mirip dengan stasiun Bondowoso. Atap bangunan Stasiun Tanjung Priok lama pada masa pembangunan tahun 1885-1895 masih sama, yaitu berbentuk Segitiga dengan sudut kemiringan sekitar 30º – 45º. Ornamen pada list atap menggunakan kayu.
Pada bagian pintu masuk masih dipengaruhi oleh gaya arsitektur neoklasik yaitu menggunakan unsur lengkungan pada bagian atas pintu. Pada bagian main entrance dengan 3 pintu masuk, pintu masih menggunakan material kayu yang kokoh dan kuat. Bentuk fasad bangunan Stasiun Tanjung Priok Lama adalah dominan simetri. Rancangan pintu kolonial mempunyai ciri khas, yaitu adaptif dengan iklim tropis.
Pintu pada bagian main enterance menggunakan material kayu jati dan kaca bening. Pagar depan stasiun dapat dilihat simetri, terjadi pengulangan bentuk yang sama dan seimbang dengan menggunakan material besi. Mengingat aktivitas kapal yang semakin padat, maka dilakukanlah peleburan terhadap bangunan Stasiun Tanjung Priok Lama.
Bangunan lama dilebur menjadi sebuah kawasan TOD (Transit Oriented Development) yang mengintegrasi kan antara moda transportasi laut dengan moda kereta api. Bangunan TOD Tanjung Priok juga memiliki beberapa ruko yang berfungsi sebagai kantor perdagangan internasional, pergudangan, ekspedisi, kantor imigrasi dan pelayaran penumpang.
Pengelolaan stasiun dan jalur kereta api Sunda Kelapa-Tanjung Priuk Lama diserahkan kepada Staatsspoorwegen. Namun, seiring dengan meningkatnya aktivitas pelabuhan, pada 6 April 1925 seluruh perjalanan kereta api penumpang pindah ke bangunan stasiun Tanjung Priok baru yang berada di sebelah selatan. Otomatis, Stasiun Tanjung Priok Lama hanya berguna sebagai stasiun angkutan barang bersamaan dengan halte Lagoa.
Bangunan lama Stasiun Tanjung Priok masih digunakan untuk layanan kereta api angkutan barang sampai sekitar tahun 1950an. Di tahun tersebut, seluruh aktivitas bongkar muat barang dari kereta api pindah ke Stasiun Pasoso. Bekas dari bangunan utama stasiun Tanjung Priok lama kemungkinan dihancurkan pada masa Orde Baru dan bekas-bekas dari pilar stasiun lama digunakan sebagai kantor dari pelabuhan penumpang.
Stasiun Tanjung Priok Generasi Kedua
Stasiun Tanjung Priok generasi kedua dibangun pada tahun 1914. Perancangnya adalah CW Koch, seorang insinyur dari Staatsspoorwegen. Stasiun ini dibangun oleh 1.700 orang pekerja, 130 di antaranya adalah orang Eropa. Untuk mempersiapkan pembangunan stasiun, SS membuat model maket Stasiun Tanjung Priuk Baru. Maket ini muncul pada buku peringatan hari ulang tahun ke-50 SS karya SA Reitsma.
SS kemudian mengontrak sebuah perusahaan baja bernama Machinefabriek Braat Soerabaia-Djokja-Tegal yang berlokasi di Ngagel, Surabaya untuk membuatkan kerangka kanopinya. Pada masa itu, Gubernur Jenderal yang berkuasa adalah AFW Idenburg (1909-1916).
Pemerintah Hindia Belanda pada masa itu memiliki ambisi untuk “unjuk gigi” kepada dunia, kalau wilayah kolonial mereka memiliki stasiun yang megah dan mewah. Stasiun ini memiliki delapan jalur, dengan sebuah rumah sinyal berada pada bagian tengah. Stasiun ini juga dilengkapi dengan sebuah hotel penginapan yang terletak pada bagian atas, kini menjadi kamar mess untuk karyawan.
Di hari peresmian Stasiun Tanjung Priok, diresmikan layanan kereta api listrik pertama di Hindia Belanda yang menghubungkan Tanjung Priok-Mester Cornelis (Jatinegara) dan Tanjung Priok – Batavia (Jakarta Kota). Ketika zaman pendudukan Jepang, stasiun megah ini digunakan untuk naik dan turun para romusha (pasukan kerja paksa Jepang) dari kereta api selanjutnya dibawa menggunakan kapal.
Kemewahan Yang Tersembunyi
Setelah peserta dari IRPS dan Ngojak mendengarkan sejarah stasiun, kini saatnya beranjak menuju bekas hotel transit yang berada di lantai atas Stasiun Tanjung Priok. Yup, Griya Karya Leli menjadi saksi bisu dari sebuah hotel transit bagi para pelancong Eropa. Nuansa kolonial yang terbentang sepanjang koridor seolah membawa para peserta kembali pada romansa di masa lampau.
Hotel transit ini memiliki banyak sekali kamar untuk mereka yang baru saja turun dari kapal, lalu ingin melanjutkan perjalanan dengan kereta api keesokan harinya. Salah satu kamar dari hotel transit ini masih memperlihatkan keasliannya, meski beberapa sudut tembok telah rapuh dimakan usia. Kini, hotel transit tersebut berubah menjadi mess atau kamar dinas bagi para pegawai KAI.
Setelah puas melihat hotel transit, para peserta dari IRPS dan Ngojak diajak untuk menjelajah rumah sinyal tua di Stasiun Tanjung Priok. Dalam perjalanan, Adhitya menyempatkan diri untuk menjelaskan mengenai seri sebuah lokomotif. Rumah sinyal ini dibangun bersamaan dengan stasiun.
Rumah sinyal ini digunakan sebagai pusat kontrol dari persinyalan stasiun. Letak posisi rumah sinyal ini berada di tengah-tengah peron, diapit oleh empat jalur disebelah kiri dan empat jalur disebelah kanan. Para peserta diberi kesempatan untuk masuk kedalam rumah sinyal tersebut.
Tangga berbalut kayu menghiasi rumah sinyal nan menawan. Lantai dua rumah sinyal Stasiun Tanjung Priok dahulu digunakan sebagai ruang kontrol persinyalan. Kini, ruang berbalut kayu tersebut sudah tidak lagi berfungsi sebagai ruang kontrol sinyal, melainkan di alih fungsikan sebagai musala dan tempat istirahat para pegawai.
Rumah sinyal ini juga memiliki jendela kayu tanpa kaca. Sekarang, pusat kontrol sinyal dan wesel telah berpindah ke rumah sinyal bagian barat yang terletak di gerbang masuk stasiun dan percabangan menuju Pasoso. Setelah para peserta mendengarkan penjelasan dari seorang petugas, peserta kemudian melangkahkan kaki menuju sebuah ruangan luas yang istimewa.
Ruangan yang sekarang menjadi arena olahraga tenis ini dahulu adalah ruang VIP Stasiun Tanjung Priok. Yang membuat ruang VIP ini begitu istimewa adalah karena dahulu digunakan sebagai ruangan dansa, pesta bahkan pernikahan bagi para pelancong Eropa. Ada banyak sekali kenangan indah dari para pelancong eropa yang mengunjungi stasiun ini. Setelah puas melihat ruang VIP, para peserta diajak untuk melihat lorong tangga yang menjadi pintu masuk menuju bunker stasiun Tanjung Priok.
Bunker ini begitu melegenda karena lekat dengan sejarah kolonial. Dahulu bunker ini digunakan sebagai tempat penyimpanan logistik dan barang sitaan para penumpang kereta. Peran bunker ini semakin penting ketika masa pendudukan Jepang. Pasalnya, Bunker ini digunakan sebagai tempat penyimpanan peralatan perang. Lorong menuju bunker tampak gelap karena tidak adanya lampu.
Peserta kemudian diajak untuk menaiki sebuah tangga menyusuri sebuah lorong rahasia. Di lantai dua, terlihat sebuah dapur tua yang dahulu digunakan sebagai tempat memasak. Dapur ini memproduksi makanan untuk para pelancong Eropa yang sedang berpesta atau menginap di Stasiun Tanjung Priok. Uniknya lagi, proses pengiriman makanan yang sudah jadi melalui sebuah lift khusus makanan, yang akan diterima pada dapur di lantai bawah. Di ruang dapur juga terdapat sebuah corong ventilasi yang digunakan untuk membuang asap saat proses memasak.
Panorama Yang Mempesona
Setelah melihat dapur, para peserta diajak untuk naik ke lantai berikutnya dan sampai di bagian rooftop Stasiun Tanjung Priok. Dari atas rooftop stasiun peserta diajak untuk melihat indahnya panorama, seperti terminal Tanjung Priok, pelabuhan, perlintasan dan masih banyak lagi.
Di rooftop juga terdapat beberapa hiasan mungil bergaya art deco yang salah satunya berfungsi sebagai corong pembuangan udara sisa pembuatan makanan. Terdapat pula sebuah bangunan kecil bergaya art deco yang berfungsi sebagai pintu lorong menuju rooftop. Ujung atap Stasiun Tanjung Priok ini mengingatkan kita pada stasiun Semarang Poncol, karena memiliki desain yang cukup mirip.
Setelah para peserta puas berfoto ria, kini saatnya beranjak menuju lobi stasiun. Di lobi ini, salah seorang petugas KAI yang juga menjadi tour guide dalam penjelajahan ini mengucapkan terima kasih kepada para peserta dan kegiatan tour stasiun berakhir.
Benteng Sungai Bambu
Dari Stasiun Tanjung Priok, para peserta dari IRPS dan Ngojak bersama-sama menggunakan angkot menuju salah satu situs bersejarah, yakni Benteng Tanjung Priok yang masyarakat menyebutnya sebagai Benteng Sungai Bambu. Menurut sejarah, benteng ini konon dibangun oleh perusahaan dagang Hindia Timur, VOC pada tahun 1609 oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.
Benteng ini pada mulanya berfungsi menjaga serangan musuh dari arah laut. Benteng ini dibuat cukup lama kurang lebih 10 tahun dan dipergunakan pada tahun 1619. Benteng ini dibuat oleh VOC sebab sudah ada dugaan bahwa Batavia akan diserbu oleh pasukan kerajaan Mataram. Selain untuk menghalau pasukan musuh, benteng ini juga digunakan untuk pertahanan dan penyimpanan material alutsista, guna bertempur melawan kerajaan Mataram yang hendak merebut kota Batavia (Jayakarta) kala itu.
VOC menghancurkan benteng Sungai Bambu yang sudah susah payah dibangunnya. Konon benteng Sungai Bambu ini di hancurkan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Daendels. Kemudian, benteng ini terbengkalai selama berabad-abad lamanya. Pada masa pendudukan Jepang, benteng ini pun terabaikan karena militer Jepang sedang fokus pada area di bagian selatan yang lebih strategis. Benteng ini kini tertimbun oleh banyak bangunan permanen.
Makam Mbah Priok
Setelah menjelajah situs Benteng Sungai Bambu, dengan menaiki angkot para peserta dari IRPS dan Ngojak bertolak menuju Makam Mbah Priok. Setibanya disana, peserta diminta untuk melepas alas kaki (batas suci agar lantai tidak kotor) dan menaati seluruh peraturan yang ada. Menurut beberapa literatur, nama asli dari Mbah Priok adalah Habib Hasan Al Haddad.
Mbah Priok adalah seorang ulama besar dan penyebar Islam di tanah Jakarta. Mbah Priok inilah yang menjadi cikal bakal dari penamaan Tanjung Priok. Beliau memiliki nama lengkap Al-Habib Hasan ibn Muhammad Al-Haddad yang terdampar bersama saudaranya, Al-Habib Ali Al-Haddad. Mereka merupakan imigran yang berangkat dari wilayah Palembang, guna menuntut ilmu pada Al-Habib Husain ibn Abu Bakar di Luar Batang (sayangnya telah wafat bersamaan waktu kedatangannya) dan sekaligus menyebarkan agama Islam ke Batavia serta berdagang.
Sepanjang tahun 1750an, VOC sedang dalam kesulitan karena perang di berbagai sisi Nusantara. Kedatangan kapal-kapal asing di seputaran Batavia menjadi sasaran kecurigaan. Terlebih kapal yang ditumpangi oleh Al-Habib Hasan ibn Muhammad Al-Haddad tidak dapat merapat ke pelabuhan Batavia. Hantaman badai di tengah laut menyebabkan kapal yang ditumpangi oleh Al-Habib Hasan ibn Muhammad Al-Haddad dan Al-Habib Ali Al-Haddad terdampar di pantai yang jauh dari kota Batavia.
Saat terdampar di pantai, hanya terdapat sisa-sisa berupa sedikit bahan makanan dan sebuah periuk di dekat mereka. Al-Habib Hasan ibn Al-Haddad wafat di lokasi, sedangkan Al-Habib Ali Al-Haddad dapat ditolong oleh penduduk sekitar. Guna mengenang peristiwa tersebut, penduduk menamai daerah itu dengan sebutan daerah Periuk. Beberapa sumber menyatakan, peristiwa itu terjadi pada tahun 1756. Sedangkan, kata Periuk atau sekarang lebih sering ditulis Priok, adalah penyebutan sebuah benda yang berbetuk bejana, baik yang terbuat dari logam ataupun dari tanah (gerabah).
Musala As-Sa’adah, awal mula tragedi berdarah
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit dari situs Makam Mbah Priok, para peserta tiba di Musholla As-Sa’adah. Tempat ibadah kecil ini menjadi saksi bisu utama dari sebuah tragedi berdarah yang terjadi pada tahun 1984. Bermula dari seorang tentara yang masuk ke dalam Musholla tanpa melepas alas kaki dan langsung menyiram bangunan tersebut dengan air selokan.
Perbuatan keji ini lantas memicu amarah yang luar biasa dari pengurus Musholla maupun warga sekitar. Pak ketua RT yang menjadi saksi bisu dari peristiwa tersebut mengatakan bahwa banyak warga sipil yang tidak terlibat dalam aksi menentang pemerintahan Orde Baru diculik dan dibunuh.
Akibat insiden itu, tercatat 23 warga wafat dan 55 orang terluka. Beberapa lainnya dinyatakan hilang dan kondisi di seputaran Tanjung Priok, menjadi sangat mencekam.
Meletusnya peristiwa Tanjung Priok bermula ketika pemerintah Orde Baru mulai menetapkan asas tunggal Pancasila. Asas itu diterapkan di hampir semua lini, tidak terkecuali organisasi masyarakat. Masyarakat yang telah memiliki akar kuat secara religius, banyak yang menolak. Salah satu pihak yang menolak adalah sekelompok kecil warga yang membuat majelis taklim Musala As-Sa’adah di Tanjung Priok.
Para penggerak majelis itu membuat pamflet dan semacam gerakan agitasi, untuk menolak kebijakan pemerintah Orde Baru, yang dianggap tidak mengakomodir gerakan Islam. Salah seorang oknum tentara (ABRI) yang bernama Hermanus datang ke lokasi, secara serta merta dan mengambil pamflet agitasi dan pengumuman lainnya yang ditempelkan di papan pengumuman musala.
Setelah selesai mendengarkan sebuah cerita, acara ditutup dengan foto bersama, dan peserta dari IRPS dan Ngojak pun bertolak kembali ke Stasiun Tanjung Priok dengan angkot.
Salam preservasi 🤜🤛
Oleh Muhammad Azzam Satriawan