
Ilustrasi KA lokal yang beroperasi di Jalur Banten. Lokomotif BB30619 yang menghela KA ini saat ini masih ada, jika tidak aktif, di Balai Yasa Manggarai. Tepat 37 tahun lalu, Tragedi Bintaro terjadi di jalur ini. (Arsip IRPS)
19 Oktober 2024, tepat 37 tahun Peristiwa Luarbiasa Hebat (PLH) terbesar dalam Perkeretaapian Indonesia terjadi, yakni Tragedi Bintaro, Senin, 19 Oktober 1987. PLH ini melibatkan KA Lokal 225 Rangkasbitung-Jakartakota dengan lokomotif BB30616 dan KA Patas 220 Tanahabang-Merak dengan lokomotif BB30316 yang bertabrakan di lengkung ‘S’ KM 17+252, petak jalan Kebayoran-Sudimara, Pondokbetung, Bintaro, Jakarta Selatan.
Pada Senin, pukul setengah tujuh pagi itu, emplasemen Sudimara yang terdiri dari 3 sepur dalam keadaan penuh. Sepur 1 terisi oleh stablingan gerobak barang, sepur 2 terisi oleh KA 1035 Indocement yang juga menunggu waktu keberangkatan, dan sepur 3 terisi oleh KA 225 sarat penumpang, dengan masinis Slamet Suradio, stoker Soleh, dan KPKA Adung Syafei.
Djamhari, PPKA Sudimara, kemudian memutuskan untuk memindahkan persilangan KA 225 dan KA 220 ke Kebayoran, dikarenakan emplasemen miliknya sudah penuh. Ia kemudian membuat surat PTP (Pemindahan Tempat Persilangan) dan menyerahkan kepada KA 225, namun tanpa persetujuan Umriyadi, PPKA Kebayoran. Tidak adanya kabar persetujuan ini menyebabkan Umriyadi tetap memberangkatkan KA 220, dengan masinis Amung Sunarya dan stoker Mujiono.
View this post on Instagram
Mendengar kabar ini, ditambah dengan PTP yang sudah terlanjur diserahkan kepada KA 225, Djamhari memutuskan untuk melangsir KA tersebut dari sepur 3 ke 1 dengan memerintahkan seorang petugas stasiun, guna memberikan jalan kepada KA 220 yang akan datang. Saat petugas tersebut meniup peluit langsir (semboyan 46), KPKA justru menyalahartikan dengan membalas peluit keberangkatan (semboyan 41), bertambah parah dengan masinis yang ikut membalas dengan klakson (semboyan 35), kereta pun mulai berangkat.
Djamhari yang panik kemudian mencoba menghentikan KA 225 yang ‘terlepas’ dengan menaik-turunkan sinyal masuk Sudimara pihak Kebayoran, namun sayang hal itu tidak terlihat oleh Slamet, sang masinis. Ia kemudian mengejar KA tersebut sembari mengibarkan bendera merah hingga sekitar 2 km, tepatnya Jurangmangu, sumber lain menyebutkan hanya 500 meter. Namun, usahanya sia-sia. Ia lalu pingsan, karena mengetahui malapetaka apa yang akan terjadi.
Oleh Andra Radithya