Terletak di Notoprajan, Ngampilan, Yogyakarta, Stasiun Ngabean adalah sebuah stasiun yang terletak di jalur nonaktif Yogyakarta-Sewugalur. Stasiun ini dibangun oleh perusahaan Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang dibuka pada 21 Mei 1895 bersamaan dengan pembukaan segmen Yogyakarta-Srandakan.
Awalnya, jalur Yogyakarta-Sewugalur memiliki lebar jalur 1.435 milimeter sebagaimana halnya jalur NIS antara Yogyakarta-Solo-Semarang dan Kedungjati-Ambarawa. Setelah pembukaan segmen Yogyakarta-Srandakan, jalur ini diperpanjang satu stasiun ke Brosot pada 1 April 1915 dan kemudian ke Sewugalur pada 1 April 1916.
Jalur ini mengalami regauge oleh Pemerintah Kolonial Jepang pada tahun 1943 menjadi 1.067 milimeter pada segmen Yogyakarta-Palbapang. Sementara itu, segmen Palbapang-Sewugalur dibongkar untuk pemenuhan kebutuhan perang. Stasiun Ngabean sendiri merupakan stasiun pertama dari arah Yogyakarta menuju Sewugalur, di mana Halte Dongkelan merupakan perhentian selanjutnya setelah Ngabean menuju Sewugalur.
Stasiun Ngabean merupakan sebuah stasiun penting yang pernah berdiri di Yogyakarta pada saat itu. Stasiun ini memiliki 5 jalur dan juga melayani percabangan di mana stasiun ini juga melayani kereta api ke arah Pundong, yang melewati wilayah Kotagede yang saat ini menjadi sentra kerajinan perak.
Jalur ke Pundong ini usianya lebih muda dari jalur Yogyakarta-Sewugalur karena baru dibuka pada 15 Desember 1917 untuk segmen Ngabean-Pasargede dan 15 Januari 1919 untuk segmen Pasargede-Pundong. Setali tiga uang dengan segmen Palbapang-Sweugalur, jalur Ngabean-Pundong juga dibongkar oleh Jepang.
Stasiun Ngabean sendiri menjadi titik transit angkutan dari pabrik gula yang berada di wilayah Yogyakarta. Salah satunya adalah Pabrik Gula Madukismo yang mengangkut tetes tebu menggunakan jalur peninggalan NIS ini. Stasiun Ngabean juga memiliki percabangan ke pabrik pengolahan kayu jati di sisi barat stasiun, yang saat ini sudah menjadi masjid dan area pemukiman warga.
Setelah Indonesia merdeka, Stasiun Ngabean masih aktif melayani penumpang hingga tahun 1973. Setelah 1973, angkutan penumpang di jalur ini berakhir akibat kalah bersaing dengan angkutan jalan raya, namun angkutan tetes tebu dari Pabrik Gula Madukismo masih berlanjut sampai tahun 1980an.
Bangunan Stasiun Ngabean sendiri hingga saat ini masih ada dan masih digunakan sebagai kantor sekretariat Forum Komunikasi Kawasan Ngabean Yogyakarta. Bangunan stasiun pernah ditutup karena perbaikan jalan dan pembangunan trotoar, namun kembali dibuka dan telah direnovasi. Di eks Stasiun Ngabean masih terdapat potongan rel lengkap dengan penambat dan bantalan, serta beberapa roda kereta api.
Emplasemen Stasiun Ngabean sendiri kini menjadi Sentral Parkir Bus Ngabean, yang juga memiliki halte bus Trans Jogja yang melayani berbagai koridor dan menjadi salah satu titik transit penumpang bus kota. Selain itu, eks rumah dinas kepala stasiun juga masih ada di sisi selatan stasiun. Eks rumah dinas ini kini ditempati oleh keturunan dari eks kepala Stasiun Ngabean.
Bekas percabangan ke Ngabean juga masih dapat ditemui di sisi selatan Stasiun Yogyakarta, dan telah berubah menjadi sebuah gang. Menyusuri Jalan Jlagran Lor ke arah barat akan menemukan sebuah gang bernama Gang Masjid Al-Hasanah dengan lengkungan khas jalur kereta api. Jalur kereta api masih lurus menyusuri Jalan Letjen Suprapto hingga akhirnya memasuki Stasiun Ngabean.
Sumber foto:
- Majalah Djaka Lodhang
- DPAD DIY
Salam Preservasi 🤜🏻🤛🏻