Sebelum merdeka, Indonesia yang masih bernama Hindia Belanda pernah mengoperasikan jaringan perkeretaapian dengan lebar sepur internasional 1.435 milimeter. Perusahaan swasta Nederland-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) yang mengoperasikan jalur ini yang dikenal sebagai jalur Vorstelanden dengan rute Semarang-Solo-Yogyakarta. Merupakan bagian dari rute ini yaitu jalur kereta api pertama antara Semarang-Tanggung yang mulai beroperasi pada 10 Agustus 1867.
Jalur ini pernah diperkuat oleh beberapa jenis armada lokomotif uap dari gandar B, C, dan D. Kebanyakan lokomotif, kereta penumpang, maupun gerbong barang milik NIS memiliki ruang bebas yang lebih besar daripada milik Staatsspoorwegen yang utamanya beroperasi di lebar sepur 1.067 milimeter. Selain itu, standar yang NIS gunakan adalah standar di Eropa daratan, seperti misalnya penggunaan alat perangkai buffer and chain yang mungkin mengilhami penyebutan “boper” oleh teknisi perkeretaapian untuk alat perangkai.
Saat Jepang datang di tahun 1942, seluruh jalur 1.435 milimeter milik NIS dikonversi menjadi 1.067 milimeter karena dianggap tidak dibutuhkan. Hal ini praktis mematikan seluruh lokomotif, kereta penumpang, dan mayoritas gerbong barang milik NIS karena tidak ada lagi jalur untuk mereka beroperasi. Terkecuali gerbong barang dengan ruang bebas kecil milik NIS yang kemudian diubah sumbu as rodanya jadi 1.067 milimeter dan dapat beroperasi kembali.
Beberapa lokomotif uap lebar sepur internasional peninggalan NIS lolos dari penjajahan Jepang hingga era kemerdekaan, tersimpan di Balai Yasa Yogyakarta dalam keadaan tidak beroperasi. Kebanyakan bertahan hingga tahun 1970an sebelum akhirnya dibesituakan. Salah satu lokomotif peninggalan NIS tersebut adalah lokomotif nomor 107, yang di kemudian hari sasisnya didonasikan kepada STM Yogyakarta I, yang kini menjadi SMK Negeri 2 Yogyakarta untuk alat peraga siswa.
Tungku uap NIS 107 dari B1103
Pada sasis lokomotif nomor 107 ini terdapat tungku uap yang sudah dipotong menjadi dua bagian agar siswa dapat melihat cara kerja tungku uap. Namun setelah melakukan penelusuran, kami berpendapat bahwa tungku uap ini justru berasal dari lokomotif B11 yang juga peninggalan NIS untuk sepur 1.067 milimeter, dan bukan tungku uap asli lokomotif nomor 107.
Lokomotif B11 yang dimaksud kemungkinan adalah B1103, eks NIS BB15 kemudian NIS 336, lokomotif buatan Beyer Peacock, Inggris yang pernah beroperasi di jalur Jakarta-Bogor mulai tahun 1883. Kemudian setelah Staatsspoorwegen membeli jalur Jakarta-Bogor, lokomotif B11 yang hanya ada 4 unit pindah ke Jawa Timur dan beroperasi di tempat-tempat seperti Gundih, Babat, Tuban, Merakurak, Lamongan, dan sekitarnya.
Berbeda dengan sarana 1.435 milimeter milik NIS, sarana 1.067 milimeter milik NIS menggunakan alat perangkai tipe beliung khas Norwegia, yang di Indonesia umum dengan sebutan ganco. Ini juga berlaku pada lokomotif B11, yang juga memiliki keunikan pada bentuk tangki airnya.
B1103 masih ada hingga tahun 1970an dalam kondisi nonaktif di Depo Gundih sebelum berpindah ke roundhouse atau los bunder yang ada di area Balai Yasa Yogyakarta. Lokomotif B1103 mengalami nasib yang sama dengan lokomotif-lokomotif uap lainnya yang lama tak beroperasi, yaitu dibesituakan. Namun untungnya tungku uap lokomotif ini selamat sebagian dan bersatu dengan sasis lokomotif NIS 107 untuk kemudian menjadi alat peraga teknis tenaga uap di STM Yogyakarta I/SMK Negeri 2 Yogyakarta sejak tahun 1980an.
Preservasi
Agar dapat selalu menjadi alat peraga di SMK Negeri 2 Yogyakarta, IRPS memutuskan untuk mempreservasi penampilannya agar terlihat cantik kembali. Tim IRPS tiba di Yogyakarta pada 14 Mei 2023, dan kemudian langsung mengerjakan preservasi lokomotif nomor 107 peninggalan NIS pada keesokan harinya, 15 Mei 2023.
Di hari pertama, Tim IRPS melakukan pencucian pada lokomotif dan mengeruk cat yang melapisi badan tungku api dan sasis lokomotif. Kemudian di hari kedua, pekerjaan berlanjut pada pendempulan badan lokomotif serta penambalan badan lokomotif yang bolong dengan menggunakan resin. Selain itu, pengecatan dasar juga mulai dilakukan pada sasis, alat perangkai dan buffer lokomotif. Tak luput pula kami mengeruk kembali cat yang masih tersisa pada sasis lokomotif.
Di hari ketiga, kami mulai mengecat tungku api serta sasis dan rangka bawah lokomotif dengan cat tahan karat. Berikutnya di hari keempat, kami melanjutkan pengecatan pada tungku api, rangka bawah, serta melakukan pengecatan detil dengan warna yang berbeda-beda pada tungku api untuk membedakan bagian-bagian yang ada pada tungku api.
Preservasi tiba di hari terakhir, di mana kami masih melanjutkan pengecatan detil. Setelah pengecatan detil pada tungku api selesai, pengecatan detil berlanjut pada rangka bawah lokomotif dengan memberi warna merah pada dinding roda lokomotif, stang roda lokomotif, serta bagian buffer alat perangkai.
Setelah rampungnya preservasi ini, kami berharap agar generasi muda dapat teredukasi dengan keberadaan benda kereta api bersejarah. Kami juga berharap monumen yang telah kami kerjakan dapat menjadi ikon untuk SMK Negeri 2 Yogyakarta maupun daerah sekitarnya.
Salam preservasi 🤜🤛